Warta

NU Tak Inginkan Negara Islam

NU Online  ·  Kamis, 25 November 2004 | 16:08 WIB

Surabaya, NU Online
Mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan bahwa NU tak pernah menginginkan pendirian Negara Islam sesuai bukti historis tentang paham kebangsaan yang diterapkan NU.

"Bagi NU, negara non-Islam atau negara kebangsaan wajib dipertahankan, karena ajaran Islam dapat dijalankan tanpa Negara Islam," katanya di Surabaya, Kamis.

<>

Ia mengemukakan hal itu saat membuka Mudzakaroh Nasional "Meneguhkan Kembali Khittah NU Menuju Indonesia Maju dan Bermartabat" dengan pembicara lain H Masdar F Mas’udi (Katib Syuriah PBNU), Sosiolog Unair Surabaya Prof H Soetandyo W MPA, dan sebagainya.

Menurut cucu pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari itu, paham kebangsaan sudah lama dikembangkan NU sejak NU lahir pada 31 Januari 1926, karena kelahiran NU merupakan reaksi atas Syarikat Islam (SI).

"SI didirikan HO Tjokroaminoto dan Soekarno pada 1922 dalam bentuk sebuah club studi, karena itu NU dilahirkan untuk menandingi paham ke-Islaman itu," katanya.

Setelah itu, kata Ketua Dewan Syuro DPP PKB itu, muktamar NU di Banjarmasin pada 1935 telah mengeluarkan hukum wajib untuk mempertahankan kawasan Hindia Belanda, meski dipimpin non-muslim.

"Untuk menjalankan ajaran Islam itu tak diperlukan Negara Islam, karena itu NU mewajibkan upaya mempertahankan negara kebangsaan karena di dalamnya ada umat Islam yang juga dilindungi negara," katanya.

Bukti historis lainnya, kata mantan Presiden ke-4 RI itu, ayahnya Wahid Hasyim yang terlibat dalam BPUPKI telah mencoret naskah proklamasi berisi tentang konsep negara Islam dan kemudian mencoret lagi sila pertama Pancasila tentang Piagam Jakarta.

"Paham kebangsaan NU juga terlihat dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama NU di kantor NU di Surabaya pada 1945 yakni kewajiban mempertahankan negara RI adalah jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah)," katanya.

Selain itu, NU juga sempat mengeluatkan sebutan "Waliyyul Amri Ad-Daruri bis-Syaukah" kepada Bung Karno selaku presiden dan bukan "imam" dalam kepemimpinan Islam di negara Pancasila.

"Sebutan itu dicetuskan KH Baidlowi dari Sumbergirang, Lasem, Jawa Tengah pada tahun 1978, kemudian NU melalui muktamar di Situbondo pada 1984 juga menerima Pancasila sebagai azas berorganisasi dan bermasyarakat, bukan azas Islam," katanya.

Oleh karena itu, katanya, hubungan ideologi kebangsaan dan ideologi Islam yang diterapkan NU sangat kental sampai sekarang dengan membedakan Islam sebagai ajaran agama dan Islam sebagai konsep berbangsa/bernegara.

"Tapi, munculnya paham kebangsaan yang dikembangkan NU selama ini tampaknya mengalami tantangan berat dengan munculnya paham Islam yang ingin mendirikan Negara Islam akhir-akhir ini," katanya.

Sementara itu, pembicara seminar lainnya H Masdar F Mas’udi mengatakan kemajuan Islam di Indonesia sangat ditentukan kemajuan NU, karena mayoritas umat Islam di Indonesia adalah warga NU.

"Karena itu upaya memajukan masyarakat Indonesia tak dapat dilakukan tanpa memajukan warga NU," kata mantan Plt Ketua Umum PBNU pada pemilihan presiden (pilpres) pada Juli-September 2004.(an/mkf)