Warta

NU dan Masyarakat Sipil Lainnya Jalin Koordinasi Hadapi Terorisme

NU Online  ·  Kamis, 12 November 2009 | 11:36 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerjasama dengan The Center on Global Counterterrorism Cooperation dan didukung PBB menyelenggarakan workshop untuk peningkatan kesadaran civil society organization (CSO/organisasi kemasyarakatan) se-Asia Tenggara menghadapi terorisme.

Workshop yang akan berlangsung tanggal 18-19 November 2009 di Hotel Sultan tersebut diikuti oleh CSO dari Negara-negara Asia Tenggara Seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, Cambodia dan utusan PBB dari New York.<>

Sehubungan dengan workshop tersebut, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menegaskan “Terorisme menjadi ancaman keamanan dan kedamaian internasional. Jaringan mereka kuat dan terorganisasi rapi dan menggunakan berbagai jalur untuk merekrut anggota. Sudah waktunya bagi organisasi kemasyarakatan untuk lebih banyak berperan dalam menghadapi ancaman terorisme ini.”

Banyak upaya telah dilakukan, terutama oleh negara sebagai respon terhadap menyebarnya terorisme. Tetapi dalam pelaksanaannya, langkah-langkah tersebut dilihat sebagai langkah yang tidak merakyat, bahkan diangggap melanggar hak asasi manusia. Karena itu, dukungan dari organisasi kemasyarakatan dan LSM sangat penting untuk mendorong negara melakukan respon anti terorisme tanpa melanggar hukum.

Melalui workshop ini, PBNU berharap peranan dan upaya PBNU dalam usaha memerangi terorisme dalam berbagai bentuknya, baik dalam jalur pendidikan, dakwah dan media maupun pertemuan-pertemuan internasional seperti ini dapat menjadi pemicu dan pemacu bagi organisasi kemasyarakatan untuk berpran lebih tegas dan kuat.

“Banyak hal-hal yang menyebabkan munculnya terorisme itu sangat dekat terkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat yang kurang dipahami oleh negara,” ujar Hasyim melanjutkan. Beberapa hal tersebut antara lain kemiskinan, konflik horizontal, lemahnya penegakan hukum dan pelanggaran HAM, diskirminasi agama dan etnik, masalah politik, marginalisasi sosial ekonomi dan tiadanya good governance.

Workshop ini merupakan langkah lanjutan upaya mencegah dan memberantas terorisme dan telah menjadi kesadaran global. Para September 2006, PBB dalam sidang umumnya sepakat untuk membuat sebuah strategi global dan holistik untuk penanggulangan terorisme, yang mensyaratkan upaya kolektif dari stakeholder, termasuk masyarakat sipil untuk mengimplementasikannya.

Secara umum, terdapat empat pendekatan untuk melihat, mencegah dan mengatasi terorisme, pertama, memahami secara tepat kondisi-kondisi yang menimbulkan penyebaran terorisme, kedua, mencegah dan memberantas terorisme, ketiga, membangun kapasitas negara dalam penanggulangan terorisme, dan keempat, menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.

Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia juga menghadapi masalah terorisme. Organisasi keagamaan seperti NU memiliki peran penting untuk membantu mencegah dan mengatasi perkembangan terorisme.

Langkah NU ini dilakukan karena pencegahan terorisme merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah. Organiasi masyarakat seperti NU memiliki peran strategis dalam melindungi komunitas lokal, melawan ideologi ekstrimis dan mencegah kekerasan politik dan mempromosikan budaya toleransi dan keberagaman.

Hasyim menyederhanakan pembagian dalam penanganan terorisme ini menjadi terror dan isme-nya. “PBNU membantu menghilangkan isme-nya atau ideologinya,” katanya.

Indonesia oleh dunia dianggap cukup berhasil dalam penanganan terorisme karena penggabungan antara pendekatan penegakan hukum dan pendekatan sosial kemasyarakatan. Sayangnya, belakangan ini, terjadi penekanan yang berlebihan dalam pendekatan hukum dengan terjadinya berbagai penembakan pada para teroris.

Pengasuh Pesantren Mahasiswa al Hikam Malang ini menjelaskan, upaya yang dilakukan NU adalah melalui kurikulum di madrasah yang menekankan pada sikap moderasi dan toleransi.

“Indonesia adalah negara yang multikultur sedangkan arab adalah negara yang monokultur, sehingga Indonesia tidak bisa disamakan dengan disana,” jelasnya.

Liberalisasi agama, menurutnya juga tidak bisa menghilangkan terorisme karena pendekatan yang menegasikan nilai-nilai spiritual keagamaan ini akhirnya mendorong munculnya kelompok fundamental, yang melawan dengan cara-cara kekerasan. (mkf)