Warta MUKTAMAR KE-46 MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah yang Semakin “Mengkultur”

NU Online  ·  Ahad, 4 Juli 2010 | 11:08 WIB

Jakarta, NU Online
Muhammadiyah yang sebelumnya terkesan sebagai organisasi yang menjauhi pendekatan kultural dalam berdakwah tampaknya menyadari pentingnya pendekatan ini, termasuk lewat berbagai ajang kesenian yang sebelumnya dihindari.

Muktamar ke-46 Muhammadiyah yang diselenggarakan di Yogyakarta 3-8 Juli ini melibatkan aspek seni dan penghargaan budaya lokal yang cukup menonjol. Terdapat pagelaran sastra 100+46 jam di kampus Universitas Ahmad Dahlan, pertunjukan kesenian di alun-alun utara, serta pentas seni di 14 kecamatan di Kota Yogyakarta.<>

Pada acara pembukaan juga ditampilkan berbagai seni tari yang berasal dari Nusantara seperti tari Rodhatsari (Yogyakarata), Zapin (Riau), Perisau (Kalimantan), Jeppeng (Sulawesi), Ja’i (NTT), dan Sajojo (Papua).

Para seniman kondang seperti Didik Nini Thowok, Kiai Kanjeng, hingga Dwiki Dharmawan diundang untuk mengisi acara. Selanjutnya, akan dipentaskan ketoprak Pleteking Suryo Dhadhari atau Bersinarnya Matahari yang Menyinari di Taman Budaya Yogyakarta yang juga menampilkan Din Syamsuddin sebagai salah satu lakon pada 6 Juli mendatang.

Nuansa Jawa juga sangat kental dalam penyambutan para muktamirin ketika melakukan registrasi, yang mana para panitianya menggunakan pakaian adat Jawa. Dan dalam pembukaan The Thirt World Peace Forum yang menjadi bagian dari muktamar, ditampilkan lagu Yen ing Tawang Ono Lintang dan Bengawan Solo

Didik Nini Thowok mengaku sempat kaget ketika diminta ikut menampilkan salah satu kreasi tarinya yang kolosal. Keterbukaan ini menurutnya sesuatu yang spesial.

NU Online juga menyempatkan diri menengok salah satu acara kesenian di halaman Kantor Kecamatan Jetis Yogyakarta melihat salah satu pentas seni yang menampilkan jaranan, kesenian lokal yang akrab bagi kalangan abangan.

Penampilan para muktamirin dan penggembira sepenuhnya menunjukkan warna Islam Indonesia, dengan wajah santun dan pakaian rapi, berbaju batik dan bercelana panjang sementara kaum perempuannya menggunakan jilbab yang menutup sempurna, tetapi tak terlalu lebar sebagaimana dress code kelompok Islam tertentu. Tak tampak penggunaan simbol-simbol Islam ala Timur Tengah dengan menggunakan jubah atau celana cingkrang atau cadar yang oleh sekelompok ormas Islam tertentu dianggap sebagai bagian dari sunnah rasul. (mkf)