Mufti Syria: "Risalah" NU Harus Ditebarkan ke Pelosok Bumi
NU Online · Rabu, 28 Mei 2008 | 06:50 WIB
Risalah atau pokok-pokok pikiran Nahdlatul Ulama (NU) yang berpijak pada prinsip tawashuth (jalan tengah), i’tidal (tegak lurus), tawazun (seimbang), dan tasamuh (menghargai orang lain) dalam beragama harus disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia, utamanya agar umat Islam di seluruh pelosok bumi mampu menjalankan dan menebarkan ajaran Islam dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.
Demikian disampaikan Mufti Agung Syria, Syeikh Ahmad Badruddin Hasun, dalam kunjungannya ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, pekan lalu. Kedatangan Sang Mufti disambut oleh ketua umum PBNU KH. Hasyim Muzadi dan beberapa pengurus lainnya.<>
“Risalah Islam bukan risalah Arab, tetapi rahmat untuk seluruh dunia. Dalam Al-Qur’an sendiri Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk semua bangsa, bukan untuk bangsa Arab saja. Demikian juga, dalam pembukaan surah Al-Fatihah, Allah menegaskan bahwa Dia adalah rabbul ‘alamin, Tuhan semesta alam, bukan rabbul muslimin,” kata mufti yang juga lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Sebab prinsip Islam yang mendunia, tambah Syeikh Hasun, maka umat Islam juga dituntut untuk menjadi umat yang mempunyai kapasitas, kualitas, dan integritas yang juga mendunia, utamanya para ulama sebagai pengawal umat Islam.
“Umat Islam, utamanya kalangan ulama, dituntut untuk menjadi ulama yang berkapasitas dunia, baik wawasan, etika, sikap, dan pandangannya, bukan ulama lokal yang tersekat oleh sekte, juga berpihak pada satu golongan. Seorang ulama harus berbicara mengatasnamakan islam secara integral,” tegasnya.
Menurut Syeikh Hasun, masalah terbesar umat Islam sekarang ini justru terletak pada kalangan ulama, ketika mereka masih berpikir dengan menggunakan paradigma komunalitas, di samping kelalalain mereka dalam mengemban amanah dan tanggungjawab sebagai punggawa umat.
“Masalah besar (ulama) kita sekarang ini berakar dari sikap kita yang masih sering menyekat diri kita dengan menyatakan, semisal: saya Sunni, kamu Syi'ah, maka kamu sesat, atau saya Wahabi, kamu Sufi maka kamu sesat, dan seterusnya,” katanya.
Syeikh Hasun menekankan pentingnya dialog dan pendekatan antar madzhab. Ia menceritakan, di beberapa Universitas Islam terkemuka di Timur Tengah sudah banyak didirikan pusat-pusat pendekatan antar madzhab (majma’ taqrib bayna -madzahib). Di Iran, pusat tersebut sudah didirikan dua puluh tahun yang lalu, begitu juga di Mesir, sejak masa Syeikh Hasan Baqurah (Syeikh Al-Azhar di masa Presiden Nasser), Al-Azhar mengakui fikih Syi’ah Ja’fariyah sebagai salah satu madzhab fikih resmi Al-Azhar.
Dalam kesempatan tersebut, Syeikh Hasun juga sangat apresiasi terhadap ICIS (International Confrence for Islamic Shoolar) yang diprakarsai PBNU, sebagai media dialog, pertemuan, dan silaturahim antar ulama dan cendikiawan Islam seluruh dunia. Syeikh Hasun berharap, ICIS dapat diselenggarakan bukan sekedar di Indonesia, tetapi juga di seluruh negara-negara Muslim lainnya. (atj)
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
3
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
4
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
5
Waketum PBNU Jelaskan Keistimewaan Belajar di Pesantren dengan Sanad
6
Khutbah Jumat: Menyadari Hakikat Harta dan Mengelolanya dengan Baik
Terkini
Lihat Semua