Warta

Menyambung Benang Merah Hubungan Indonesia-Kamboja (2-habis)

NU Online  ·  Jumat, 14 Maret 2008 | 22:14 WIB

Phnom Penh, NU Online
Pasca runtuhnya rezim komunis umat Islam di Kamboja kembali bisa menjalankan aktivitas keagaamaanya secara lebih bebas. Saat ini jumlah umat Islam di seluruh negeri itu sekitar 500 ribu orang. Ini suara yang potensial. Karena itu semua partai politik berlomba untuk menyantuni mereka. Bahkan di tengah mayoritas Budha umat Islam diberi kesempatam menggelar acara di beberapa televisi nasional untuk memberikan siaran agama Islam.

Bahkan dalam pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen saat ini beberapa deputinya berasal dari umat Islam yang berdarah Champa. Pemerintah dan masyarakat Budha sangat menghargai agama Islam dibanding yang lain, karena Islam tidak mengganggu kepercayan dan tradisi setempat.<>

Namun seperti pada umumnya masyarakat Kamboja yang mulai tumbuh, kalangan bawah masih didera kemiskinan. Negeri ini masih menempati peringkat tertinggi sebagai negara paling miskin.Kalangan Muslim terutama yang ada di daerah pinggiran juda termasuk kelompok miskin ini.

Mereka kebanyakan hidup di lembah sungai Mekong, sehingga ketika musim penghujan daerah mereka banjir antara empat sampi enam bulan. Arsitektur perumahan Kamboja memang umumnya berbentuk panggung sebagai upaya untuk mengantisipasi banjir. Hal itu dirasakan masyarakat Muslim sebagai beban berat terutama ketika harus membangun masjid atau madrasah, mereka harus membuat dua lantai, agar kegiatan sekolah dan ibadah bisa dilaksanaan dalam musim banjir sekalipun.

Mereka menghuni lembah sungai sebagai sarana tranasportasi, sehingga bisa berhubungan dengan komnitas Muslim yang lain, termasuk yang menghubungkan dengan umat Islam di Brunai, Malaysia dan Indonesia. Dengan semakin tergusurnya transportasi sungai oleh transportasi darat ini juga mempengaruhi komunikasi dan kehidupan perekonomian mereka.

Selama ini bantuan memang sudah diberikan beberapa pihak termasuk dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan bebarapa lembaga dakwah di Indonesia, tetapi masih kalah intensif dengan pihak pemerintah Malaysia. Padahal mereka merasa lebih dekat dengan Indonesia.

Haji Sholeh bin Buchori Imam Masjid Champa kepada NU Online berkunjung ke Provinsi Kampong Cham, Kamboja, pekan lalu mengatakan, dalam pengajian-pengajian keislaman mereka menggunakan kitab berbahasa Jawi yang dikarang oleh para ulama  Nusantara. Bahkan hingga saat ini madrasah  masih mengajarkan para santri menulis bahasa Jawi (aksara arab pegon).

Namun para ustadz di Kamboja kesulitan mendapatkan kitab-kitab rujukan. ”Kitab-kitab Jawi seperti Tanbihul Ghofilin kita dapatkan dari Patani. Sementara kitab fiqah (fikih) Sabilul Muhtadin karya Syekh Arsyad Al Banjari (Banjar Kalimantan Selatan) saat ini sudah tidak diajarkan karena tidak tersedia lagi,” kata Ustaz Umar bin Ahmad, salah seorang guru Kampong Cham. (mdz)