Warta

Lebih Dekat dengan Ketua Lesbumi Ngatawi Al Zastrow

Jum, 1 Juli 2005 | 21:13 WIB

Jakarta, NU Online
Profil ketua Lesbumi periode 2004-2009 Ngatawi al Zastrow sudah tak asing lagi bagi sebagian orang. Ia memiliki ciri khas selalu pakai blangkon dan cukup sering mengisi acara di TV atau menjadi MC di berbagai acara, terutama dikalangan NU.

Terlahir di Pati 27 Agustus 1966 di sebuah kampung santri yang identik dengan tradisi-tradisi NU. Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai di Aliyah diselesaikan kampung dan selanjutnya meneruskan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

<>

Sejak umur 8 tahun ia sudah hidup mandiri dan tak kumpul lagi dengan orang tua. “Kalau ada orang ngliwet saya yang ngliwetkan, kalau ada orang nyuci pakaian saya yang nyucikan asal saya bisa ikut orang ngaji, bisa hidup di komunitas pondok, mencari biaya sendiri. Ikut orang nimba-nimba,” tuturnya pada NU Online ketika berkunjung ke rumahnya yang megah di komplek Taman Serua Sawangan Depok beberapa waktu lalu.

Berbagai profesi dia jalani untuk bisa bertahan hidup. Semasa kuliah, ia sempat jualan koran, jaga toko sampai dengan ngamen. Setelah bakat seninya terasah, ia akhirnya bisa mendapat banyak penghasilan dari profesi ini. Untuk mengaktualisasikan bakat seninya bersama teman-temannya di Jogja, ia membentuk kelompok musik Ki Ageng Ganjur yang masih terus aktif sampai sekarang.

Namun perjalanan hidup yang penuh warna tersebut dianggapnya sesuatu yang biasa saja, sesuatu yang harus dijalani dan dinikmati, bukan suatu kepahitan yang perlu disesali. “Enaknya hidup itu apa sih, yang penting orang kan bisa makan, bisa belajar. Kalau nuruti pakaian apik, makan kenyang ya saya sadah kenyang meskipun makan seadanya meskipun makan tiwul, makan bubur, atau makan jagung. Itu ya enak aja wong perut lapar. Gitu aja,” tuturnya.

Menurutnya orang merasa menderita dan gatir hidupnya kalau keinginanya dan fikirannya lebih besar daripada kemampuannya. Pingin makan sate padahal duitnya hanya cukup buat beli mie, pingin pakaian baik sementara uangnya tak cukup. Tapi kalau tak dirasa semuanya kan tidak pahit. “Saya ngamen ya saya nikmati ngamen, saya jual koran ya saya nikmati jual koran dibilang pahit kan orang yang bayangin. Saya merasakan itu enjoy aja,” imbuhnya

Terlahir dalam lingkungan NU yang menganggap nyanyi dan seni sebagai sesuatu yang diharamkan, namun hal itu tak mengurangi semangatnya untuk terus mengakutalisasikan diri. Masa itu, dilingkungan pesantren, yang dibolehkan hanya baca dibaan atau baca puisi.

“Saya berkesenian sejak kecil. Di pesantren saya digunduli, sering disuruh nguras comberan gara-gara suka nonton musik. Itu membekas betul dalam diri saya. Bakat musik saya berkembang sejak mahasiswa saya mulai jadi pelawak, tampil di panggung, di musik,” kenangnya sambil mengingat masa lalu saat awal-awal menerjuni dunia seni.

Dikatakannya bahwa darah seninya tersebut diturunkan dari kakeknya yang memang seniman. Ibunya juga senang menyanyi tetapi menjadi korban keadaan karena realitas sosial yang tak mendukung untuk mengekpresikan darah seninya. Sang ibu juga yang mengajari gending-gending dan langgam-langgam. Ibunya memiliki kemampuan untuk mendongeng yang selalu diceritakannya sebelum tidur dengan sangat ekpresif dan teatrikal.

Sebenarnya bakat seni dari orang tua tersebut juga menurun kepada saudara-saudaranya. Mereka semua pandai memainkan alat musik, tetapi semuanya terbentur oleh keadaan lingkungan.

Musik baginya sudah menjadi bagian dari hidup. Menurutnya agama apapun tak bisa lepas dari musik. Karena itu, ia berusaha untuk menggunakan musik sebagai bagian dakwah, mengembangkan seni yang humanis dan agamis.

“Sholawatan sering kita aransemen pakai santrimantra ala Hindu, lagu-lagu syair sufi kita aransemen pakai Gregorian. Kadang aransemen Gregorian kita aransemen pakai timur tengahan dan ternyata disenengi masyarakat juga. Saya konser keliling Jawa, Bali, Sumatra, itu penontonnya rata-rata diatas 10 ribu sampai 50 ribu. Itu kan sudah sama dengan konser rocknya Peterpan atau Dewa,” tandasnya.

Kehidupannya sebagai aktifis menyebabkan dia sempat menjadi asisten pribadi Gus Dur. Ini dimulai ketika ia melakukan advokasi terhadap rakyat di waduk Kedung Ombo. Merasa menjadi target penguasa untuk dibunuh, minta tolong ke sana kemari. Akhirnya ketemu Gus Dur.

Mantan Ketua PBNU tersebut dianggap punya apresiasi, bahkan dilindungi. Dari situ mulai akrab. melakukan dialog, tukar fikiran. Sastro menganggap Gus Dur sebagai guru untuk belajar menata fikiran, membaca realitas, membaca fikiran. “Karena saya ingin belajar dari Gus Dur, maka sa