Jakarta, NU Online
Pelarangan sementara impor udang bisa diberlakukan pemerintah untuk melindungi industri udang lokal dari keruntuhan akibat rendahnya daya saing udang lokal dari udang produksi Thailand, maupun China. Namun demikian, rencana tersebut harus diikuti dengan diplomasi perdagangan yang baik sehingga negara-negara pesaing bisa memakluminya.
Demikian kesimpulan wawancara NU Online, Kamis (15/7) dengan Direktur Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK-UGM) Mochammad Maksum dan ahli ekonomi politik dan analis kebijakan publik dari Universitas Indonesia Andrinof A. Chaniago tentang tanggapan mereka atas ketakutan banyak pihak terhadap tindakan pembalasan yang mungkin akan dilakukan oleh negara eksportir udang pesaing Indonesia jika rencana kebijakan pemerintah untuk melarang sementara impor udang diberlakukan.
<>Rencana pelarangan tersebut sengaja dibuat pemerintah seiring jatuhnya harga udang lokal, baik di pasar lokal maupun internasional. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Bambang Suboko, harga udang lokal cenderung menurun bukan hanya disebabkan oleh kemungkinan masuknya udang impor dalam jumlah besar ke pasar dalam negeri, melainkan juga karena produksi udang putih di dunia sangat melimpah dibanding kebutuhan pasar dunia.
Untuk mencegah kerugian akibat jatuhnya harga udang di pasar internasional, satu-satunya harapan petani udang saat ini tidak ada lain, kecuali mengokohkan diri di pasar lokal dengan memberlakukan larangan impor udang sementara waktu.
“Jatuhnya harga udang lokal merupakan bagian dari akibat yang ditimbulkan oleh global fight (pertarungan global:Red.) dalam perebutan pasar udang dalam negeri maupun global. Karena itu tidak ada masalah kalau kemudian pemerintah memberlakukan kebijakan larangan impor udang untuk sementara,”kata Maksum.
Senada dengan penjelasan Maksum, ahli ekonomi yang akrab dipanggil Adrinof ini mengatakan, “Saat ini, Thailand memang menjadi pesaing utama produsen udang lokal, karena memang negeri Gajah Putih ini memiliki kelebihan produksi yang besar. Tapi Indonesia sendiri tidak mengekspor produksi udangnya ke Thailand, melainkan 50 persen lebih ke pasar Jepang, baru kemudian ke Singapura, dan Uni Eropa. Jadi tidak ada alasan kebijakan proteksi Indonesia itu akan dibalas Thailand,”paparnya. “Lagi pula dalam perdagangan bilateral Thailand dengan Indonesia belum pernah terjadi sejarah kebijakan balas dendam,”tambah Adrinof.
Bagaimana dengan kemungkinan pembalasan dari China? Mendapat pertanyaan demikian, Dosen Program Ekonomi Pasca Sarjana UI ini mengungkapkan, ekspor China yang siknifikan baru produk pakaian dan elektronika, sedangkan untuk produksi udang, selama ini belum siknifikan, sebab China baru memulai itu,”kata Adrinof.
Adrinof pun memaparkan alasan perlunya industri udang di Indonesia diproteksi. Menurutnya, dari segi efisiensi produksi, Indonesia masih kalah jauh dari Thailand maupun China. “Dari biaya tenaga kerja, dan teknologi, Thailand masih kalah murah dibanding China. Meskipun dalam perbandingan ini produktivitas lahan Indonesia masih lebih unggul dari China, tetapi masih kalah produktif jika dibandingkan dengan Thailand,”ungkap Adrinof. “Jadi bukan karena dinilai kalah efisien dibanding Thailand dan China, kemudian larangan perdagangan tidak perlu dikeluarkan, itu penilaian yang tidak tepat,”tambah Adrinof.
Namun demikian, baik Maksum maupun Adrinof menyarankan agar pemberlakuan larangan sementara nantinya harus diikuti dengan diplomasi politik perdagangan yang baik, sehingga hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara pesaingnya dalam industri udang tidak menjadi buruk.
Berdasarkan informasi dari para pengusaha yang tergabung dalam Kadin, Adrinof mengungkapkan, bahwa selama ini kinerja konsul atau perwakilan perdagangan Indonesia di negara-negara mitra perdagangannya sangat buruk. “Para pengusaha yang pernah mengikuti pameran produk-produk industri di negara – negara seperti AS, Hongkong, maupun Uni Eropa banyak yang merasa sia-sia, sebab para perwakilan perdagangan Indonesia tidak proaktif untuk menindaklanjuti jerih payah mereka dengan negosiasi perdagangan atau promosi yang lebih meyakinkan. Usai pameran, ya tinggal pulang,”tutur Adrinof. Padahal, kata Adrinof melanjutkan, di negara-negara tersebut pasar Indonesia sangat menjanjikan, tentu dengan persaingan yang sangat ketat.
Ketiadaan sikap proaktif para perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri dalam menindaklanjuti promosi perdagangan para pengusaha Indonesia dinilai Maksum sebagai refleksi buruknya kapasitas diplomasi perdagangan Indonesia. “Dalam diplomasi perdagangan, Indonesia memang boleh dibilang sangat jongkok,”tandas Maksum.
Akar penyebab dari buruknya diplomasi perdagangan baik oleh Depperindag, maupun Deplu, disebutkan Maksum karena Indonesia tidak punya grand design
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
3
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
4
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
5
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
6
Kurangi Ketergantungan Gadget, Menteri PPPA Ajak Anak Hidupkan Permainan Tradisional
Terkini
Lihat Semua