Warta

Kuliah di Libya Bagi Mahasiswi Kayak di Ponpes

NU Online  ·  Jumat, 26 November 2004 | 08:37 WIB

Tripoli, NU Online
Dari tujuh mahasiswa yang dikirimkan oleh PBNU ke Libya, terdapat dua orang diantara mereka yang putri. Dalam sebuah negara yang melaksanakan ajaran Islam, tentu saja aturan-aturan yang ditetapkan berbeda dengan mahasiswa laki-laki. Aturan bagi mahasiswi seperti santri putri di pondok pesantren.

Naily Zulfah, salah satu mahasiswi dari Indonesia, menceritakan bahwa untuk bisa keluar belanja bagi kebutuhan pribadi, mahasiswa harus minta izin langsung kepada musajjil (seperti rektor di Indonesia). Dengan diantar mobil kampus, mereka berangkat bereng-bareng. Waktu untuk keluar pun dibatasi maksimal tiga jam, bahkan untuk mengakses internet.

<>

Namun, untuk fasilitas asrama yang disediakan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Para mahasiswi tinggal dalam sebuah asrama dengan model seperti apartemen. Karena jumlahnya kecil maka sekamar bisa diisi 2 orang dan boleh memilih sesukanya untuk teman sekamar, sedangkan bagi mahasiswa sekamar untuk tiga orang dan dicampur dari berbagai negara, mungkin untuk membiasakan berbahasa Arab.

Dari total sekitar 600-an jumlah mahasiswa, hanya terdapat 12 mahasiswi, bahkan ini sudah meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya enam orang. Kecilnya jumlah ini menyebabkan mahasiswi selalu menjadi pusat perhatian. Rombongan mahasiswa dari NU merupakan mahasiswi pertama yang datang di Kulliyah Dakwah Islamiyah. Sebelumnya sudah ada mahasiswa Indonesia, tetapi lewat jalur Suriname.

Dalam hal makan juga terdapat perbedaan, jika mahasiswa dapat bisa makan di math'am (ruang makan), mahasiswi harus masak sendiri di asrama. Dalam hal ini fasilitas dapur seperti kompor, kulkas, dan bahan-bahannya tinggal ngambil didapur kampus.

Jumlah mahasiswa yang mendominasi awalnya juga membuat susah juga. Pada tingkat pertama, hanya terdapat tiga orang putri, “Bahkan dikelas  kami hanya terdapat 2 orang dan sisanya dikelas lainnya. Karena itulah kami harus benar-benar menjaga sikap” tandasanya.

Bagi mahasiswi yang tidak pernah mengalami suasan pondok pesantren, tentu saja hilangnya kebebasan menyebabkan mereka kurang kerasan. Hal ini terjadi pada mahasiswi yang berasal dari negara yang relatif bebas peraturannya.

Sistem pelajaran hampir sama dengan di Indonesia, masuk kelas, diabsen, mendengarkan keterangan dosen, dan juga mencatat hal-hal yang penting. Namun hukuman bagi yang bolos sangat keras,  mereka yang membolos sebanyak tiga kali beasiswanya dipotong selama tiga bulan. Inilah yang menyebabkan seseorang berfikir seribu kali untuk bolos kuliah.

Kontributor Libya : Naily Zulfah