Komunitas Islam Independen Mulai Redup
NU Online · Jumat, 15 Oktober 2010 | 07:23 WIB
Salah satu sebab mengapa kajian Islam di Indonesia semakin miskin adalah para pengkaji Islam mulai masuk ke perguruan tinggi yang merupakan hasil migrasi dari para para pengkaji Islam yang dulu banyak di komunitas yang independen.
Para pengkaji tersebut mulai masuk dalam cangkang akademik dengan struktur pengetahuan yang disediakan perguruan tingi yang memiliki logika berbeda. Homo akademikus berbeda dengan orang yang ada di luar perguruan tinggi. Kajian Islam menjadi satu spesialisasi pada struktur yang lebih stabil.<>
“Mereka masuk ke perguruan tinggi karena menyediakan “penghidupan” di sana. Masalahnya, ranah yang dulu diisi begitu hingar bingar, menjadi kosong. Kita tak lagi menemukan orang selalu belajar otodidak seperti Ahmad Wahib,” kata Muhammad Al-Fayyadl dalam diskusi Kamisan NU Online, (14/10).
Ia berpendapat, studi Islam sekarang menjadi satu spesialisasi yang menuntut keahlian tertentu. Ini meniru kecenderungan di Barat yang orang-orang juga melakukan spesialisasi yang sangat spesifik dalam studi Islam, misalnya mereka yang menggeluti arsitektur masjid.
Spesialisasi merupakan konsekuensi dari masyarakat industrial. Semakin rajin seseorang dalam menggeluti satu bidang, maka ia akan semakin mendapat otoritas dalam bidang tersebut. Akhirnya ada kecenderungan orang memahami pengetahuan sebagai pengrajinan.
“Problemnya, tak ada orang yang berusaha untuk tetap menjaga kajian Islam meliputi banyak hal sehingga tak ada orang yang suatu ketika bisa bicara soal budaya tetapi disisi lain bicara juga mumpuni dalam bidang politik,” ujarnya.
Islam Gaya Hidup
Publik yang menjadi konsumen dari hasil kajian Islam juga telah mengalami banyak pergeseran dalam 10 tahun belakangan ini. Al-Fayyadl berpendapat, masyarakat yang hidup dalam dunia kapitalisme liberal ingin melihat Islam sebagai sesuatu yang praktis, yang sudah jadi sehingga tinggal dikonsumsi.
“Salah satu tipe dari publik ini adalah penikmatan dari Islam dirasakan langsung akibatnya. Ini model keberagamaan juga, jadi bagaimana agama menjadikan orang baik secara lahir dan batin. Secara lahir juga mendapat keuntungan atau dalam bahasa yang lebih ringkas, Islam menjadi gaya hidup,” terangnya.
Islam gaya hidup yang rileks, damai dan tak banyak tuntutan. Islam ditarik ke wilayah privat, hanya problem manusia dan Allah dan tak ada memikirkan relasi sosial. “Ngapain mikiran kamu, yang penting saya berislam, saya mengamalkan ibadah, saya damai, sudah cukup seperti itu,” tandasnya.
Fenomena ini jelas terlihat dari buku-buku best seller tentang keislaman adalah tentang bagaimana soal tahajjud, soal peribadatan atau buku-buku bertitel how to. Pada akhirnya, kajian Islam yang serius menjadi hilang.
“Sekarang, bagaimana kajian Islam dihadapkan pada publik yang sudah mengalami perubahan yang berarti, khususnya dalam bagaimana dia menghayati Islam. (bersambung). (mkf)
Terpopuler
1
Laksanakan Puasa Tarwiyah Lusa, Berikut Dalil, Niat, dan Faedahnya
2
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
3
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
4
Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Kronologi 3 WNI Tertangkap di Gurun Pasir Hendak Masuk Makkah, 1 Orang Meninggal
6
Alasan Tanggal 11-13 Dzulhijjah Disebut Hari Tasyrik dan Haram Berpuasa
Terkini
Lihat Semua