Warta

Kiai Said: Idul Fitri untuk Membangun Indonesia

NU Online  ·  Jumat, 10 September 2010 | 02:36 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menyatakan suasana Idul Fitri ini sangat tepat digunakan sebagai momentum untuk membangun Indonesia ke depan yang lebih cerah. Puasa dan Idul Fitri sudah seharusnya dijadikan sebagai momentum untuk membangun gerakan kebangkitan bangsa ke depan, bukan sekedar ritual atau banalitas tahunan bagi umat Islam.

Hal ini disampaikan ketika memberikan khutbah sholat Idul Fitri di kompleks gedung Pemda DKI Jakarta, Jum’at (10/9)<>

“Puasa dan Idul Fitri seyogyanya mampu melahirkan persepsi dan kesadaran yang benar terhadap persoalan bangsa yang sesungguhnya. Persoalan bangsa Indonesia yang kita hadapi sekarang ini sesungguhnya, bukanlah sebatas menyangkut satu bidang misalnya masalah ekonomi atau seperti yang dilontarkan banyak pengamat, kita tengah mengalami krisis enerji dan pangan, melainkan lebih mendasar dan luas dari sebatas itu. “Laisa minna ma lam yahtamma bi amril muslimin”, bahwa tidak termasuk umatku mereka yang tidak peduli terhadap urusan umat Islam,” katanya.

Dijelaskannya, membangun ekonomi adalah penting, akan tetapi bukanlah segala-galanya. “Bangsa yang berperadaban tinggi selalu dibangun di atas dasar keyakinan, jiwa atau spritualitas yang dalam serta akhlak yang luhur. Keadaan ekonomi yang kurang baik, di tengah-tengah negeri yang subur seperti Indonesia, sesungguhnya merupakan akibat dari lemahnya iman, spritualitas, keterbatasan ilmu dan akhlak yang disandangnya,” katanya.

Mengingat pentingnya aspek-aspek ini untuk membangun peradaban, maka ayat-ayat Al-Quran pada fase awal yang diterimakan kepada Rasulullah adalah menyangkut ilmu pengetahuan (yakni dalam bentuk perintah membaca, Iqra’), larangan berbuat angkara murka dan sebaliknya. “Beliau diperintah untuk membangun akhlaq yang mulia (bu’itstu li utammima makarimal akhlaq). Dikatakan bahwa “al-dinu husnul khulq” bahwa agama identik dengan kebaikan budi pekerti,” jelasnya.

Puasa dan Idul Fitri juga harus mampu membangkitkan jiwa optimisme yang kuat terhadap kehidupan hari esok yang lebih baik. Akhir-akhir, muncul dari kalangan luas rasa pesimisme yang berkelebihan terhadap keadaan negeri ini. Barangkat dari suasana pesimisme itu, bangsa ini dilabeli dengan identitas yang sedemikian rendah, seperti disebutnya sebagai bangsa yang terpuruk, bangsa korup, bangsa yang karut marut, bangsa yang berada pada titik nadir dan istilah-istilah lain yang kurang sedap.

“Istilah-istilah seperti itu bisa jadi akan melahirkan mental bangsa yang inferior, (‘adamul tsiqoh) tidak percaya diri dan selalu berharap pada uluran pertolongan bangsa lain. Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak semalang itu,” terangnya.

Sebaliknya, bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang beruntung, memiliki tanah kepulauan yang luas lagi subur, samudera dan lautan yang luas, aneka tambang, serta penduduk berjumlah besar. Semua itu adalah karunia Allah, yang seharusnya selalu disyukuri dan dijadikan modal untuk membangun kemakmuran bersama.

Puasa dan Idul Fitri agar bermakna terhadap upaya menjadikan Indonesia bangkit, harus mampu melahirkan sikap solidaritas sosial atau kemauan berjuang dan berkorban yang tinggi.

“Membangun bangsa tidak akan berhasil jika tidak terdapat orang-orang yang rela berjuang dan berkorban. Sejarah bangsa ini membuktikan secara jelas tentang hal itu. Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dari penjajah, adalah sebagai buah dari adanya kesediaan para pejuang termasuk di garda depan adalah peran para ulama-ulama kita yang ikhlas mengorbankan apa saja yang ada padanya,” tandasnya.

Demikian pula, Rasulullah Muhammad SAW tidak akan mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat madani yang damai dan berperadaban jika tidak ditempuh melalui perjuangan dan pengorbanan yang berat.

“Dan selaras dinamika yang ada, pemerintah sudah seharusnya untuk terus menerus memegang teguh pada prinsip memperjuangkan kemakmuran dan kemahslahatan rakyat,” paparnya.

Dalam kaidah fikih dikatakan,”tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iy manuthun bi al-mashlahah,” bahwa kebijakan pemerintah wajib ditaati selama kebijakan tersebut berpijak pada kebijakan yang memberikan kebaikan bagi banyak rakyat. Imam Syafi’i menggambarkan hubungan rakyat dan penguasa ibarat hubungan wali dengan anak yatim.

Puasa dan hari raya Idul Fitri juga selayaknya melahirkan sifat-sifat profektif, seperti amanah, adalah, istiqamah dan salam. Sifat-sifat itu sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan maju.

“Lebih daripada itu, puasa dan Idul Fitri seharusnya berhasil melahirkan suasana batin yang pandai bersyukur, ikhlas, tawakkal dan istiqamah. Di sinilah, pentingnya memahami dan meresapi kata-kata “al-dinu huwa al-nashihah lillahi wa li rasulihi wa lil mu’minin”, bahwa agama ada nasehat,” imbuhnya. (mkf)