Warta

Ki Ageng Ganjur-Iwan Fals Tor Spiritual di 7 Pesantren

NU Online  ·  Sabtu, 24 April 2010 | 22:14 WIB

Jepara, NU Online
Virgiawan Listyanto atau yang kerap disapa Iwan Fals sedang menjalani Perjalanan Spiritual tentang lagu-lagunya bersama al-Zastrouw Ngatawi dan grup musik kontemporer Ki Ageng Ganjur.

Perjalanan tersebut dalam rangka syiar Islam berbasis seni-budaya di tujuh pesantren. Adapun kota yang dituju yakni Pekalongan, Rembang, Pati, Jepara, Klaten, Yogyakarta dan Banyumas.<>

Lagu-lagu yang diciptakan Iwan Fals sebenarnya bernuansa religiusitas. Religiusitas spiritual itu nampak saat lagu-lagunya dikaitkan dengan dalil al-Qur’an maupun Hadits oleh al-Zastrouw.

Semisal, lagunya yang berjudul Tikus-tikus Kantor dikaitkan dengan Hadits Nabi yan berbunyi, "Orang yang menyuap maupun disuap posisinya di neraka." Hal itu yang dirasakan dan diungkapkan Iwan Fals saat Dialog Budaya “Tantangan Kreatif Seni Budaya Santri di Era Global (Perjalanan Spiritual Iwan Fals bersama Ki Ageng Guntur)” di pondok pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara, Jum’at (23/4).

Menurutnya, ia merasakan religiusitas ketika lagu-lagunya dihubungkan dengan Al-Qur’an dan Hadits. “Saya baru sadar jika lagu-lagu saya bermuara pada nuansa religi,” katanya.

Melalui itu, ia rela untuk melaksanakan Perjalanan Spiritual ke pesantren-pesantren. Setelah suksesnya Perjalanan Spiritual di tujuh kota tersebut, renacanya akan dilanjutkan berkunjung ke seratus kota di Indonesia.     

Sementara itu, al-Zastrouw Ngatawi, pemimpin Ki Ageng Ganjur mengungkapkan Islam merupakan agama yang menghargai seni. Melalui seni bisa dimanfaatkan untuk menyiarkan agama Islam. Begitu pula ketika santri mencintai seni maupun budaya tentu muaranya akan berujung kepada keillahian (nilai ke-Tuhan-an).

Ia menambahkan, seni apapun yang disenangi dan dipelajari entah seni musik maupun seni yang lain bukanlah termasuk bid’ah (meski banyak yang menyebutnya demikian). Asalkan tujuannya ke arah positif maka diperbolehkan dan itu sah-sah saja.

Sedangkan menurut Hindun Anisah, seni-budaya yang kerap diklaim bid’ah katanya hanya dipandang dalam perspekstif fiqih (hukum Islam) sementara pandangan yang lain semisal perspektif Tasawuf sama sekali diabaikan.

Padahal, Al-Qur’an lanjut istri KH Nuruddin Amin (pengasuh pondok pesantren Hasyim Asy’ari) adalah seni diatas seni. Artinya, nilai seni yang ada kitabullah sangatlah luar biasa. Sehingga, ketika al-Qur’an itu dibacakan dengan seni baca nilai estetikanya sangat hebat dan menyentuh sanubari. (qim)