Warta

Khofifah: Kalau Moratorium dengan Saudi, Ya harus Kompak

NU Online  ·  Rabu, 22 Juni 2011 | 08:17 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa menyatakan upaya moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi memang perlu dilakukan, tetapi harus dilakukan secara kompak antara pihak-pihak terkait.

“Jangan sampai pemerintahnya melakukan moratorium dan perundingan sedang berproses, yang terjadi grudak-gruduk TKW illegal diberangkatkan ke sana. Kita harus kompak, PJTKI-nya, pemerintahnya, masyarakatnya,” katanya, Rabu (22/6).
<>
Kegagalan penghentian pengiriman TKW ke Arab Saudi selama ini dikarenakan terlalu banyak kepentingan yang ada dalam bisnis yang mencapai trilyunan ini sehingga semua pihak harus bisa menahan diri untuk mencapai hasil yang lebih besar.

“Kalau illegal usernya juga senang, karena ngak perlu keluar uang banyak, TKW-nya juga senang, tetapi kalau ada masalah, ngak mendapat perlindungan. Kalau kita berhasil dalam moratorium, orang Saudi pasti kelabakan,” paparnya.

Dalam proses moratorium ini, semua fihak harus berbenah, termasuk dinas-dinas di daerah. Ia berpendapat, 80 persen persoalan TKI berada didalam negeri, seperti pemalsuan identitas, pemalsuan umur, orang yang tidak memiliki ketrampilan dan lainnya. Ia sering melihat orang Arab, yang datang langsung dari Arab Saudi dan tak bisa bahasa Indonesia, langsung turun ke desa-desa dan member iming-iming, yang mau berangkat nanti bisa berhaji atau melaksanakan umrah Ramadhan. Tawaran seperti ini tentu sangat menggoda.

Pihak imigrasi juga harus mampu melaksanakan seleksi antara mereka yang mau berangkat umrah dan mau menjadi TKW illegal. “Masak tidak bisa membedakan mana yang mau berangkat umrah dan mana yang mau menjadi TKI,” tandasnya.

Dijelaskannya, saat Gus Dur menjadi presiden, hal ini sudah dilakukannya menjelang ia lengser. Waktu itu, yang datang ke Indonesia Syeikh Kamal, yang masih keponakan raja Saudi. Beberapa klausul yang diusulkan yang berangkat harus punya ketrampilan, yang masak ya harus bisa masak, TKW juga memiliki hak libur, ukuran kamar minimal 3X4, bola lampu 40 watt dan lainnya. Dapat jaminan kesehatan dan lainnya. Sayangnya sebelum proses tersebut berhasil, Gus Dur keburu turun dan bahkan Philipina yang berhasil mencapai kesepakatan dengan Saudi Arabia enam bulan kemudian.

Beberapa jenis profesi di Arab Saudi seperti polisi dan guru, yang sering membikin masalah karena tidak membayar gaji sebenarnya juga bisa dimasukkan dalam daftar hitam agar tidak dikirimi pekerja lagi. Hal ini bisa mengurangi sebagian masalah

Ia mencontohkan upaya Thailand dalam memberdayakan pekerja migrannya. Pemerintah memiliki data lengkap pekerjanya yang menjadi PRT, lalu secara bertahap, mereka diberi pelatihan ketrampilan sehingga ketika kembali ke majikannya, tak lagi posisi pembantu tetapi memperoleh pekerjaan yang lebih bagus. Jika tuannya punya toko ia bisa menjadi kasirnya.

“Di Arab Saudi, ada toserba ANZ yang cukup terkenal, ada salah satu manajernya yang berkarier dari pembantu, tetapi memperoleh pelatihan dari pemerintah Thailand. Ini salah satu contoh keberhasilan,” terangnya.

Di Saudi Arabia sendiri, persoalan budaya menjadi problem tersendiri. “Di sebuah negara dimana perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk bergerak, kita bisa membayangkan sendiri, bagaimana para TKW kita bisa mengakses dunia luar,” tuturnya.

Mengenai prioritas pengiriman TKI laki-laki ke Arab Saudi yang diprioritaskan, hal ini memang persoalan tersendiri karena 90 persen yang dikirim ke Arab Saudi merupakan TKW untuk menjadi PRT, yang kondisi ekonominya dalam negeri sangat sulit sehingga terpaksa nekad berangkat kesana.

Ia berharap pemerintah dapat menciptakan lapangan kerja baru. Dari 1236 trilyun APBN tahun 2011, seharusnya bisa difasilitasi upaya pemberdayaan warga, jika disisihkan dan dikelola dengan benar, dana tersebut akan sangat bermanfaat. Daerah kantong-kantong TKI bisa menjadi pilot project untuk program ini.

Ditanya mengenai tak banyaknya kasus yang terjadi di negera-negara Asia Timur seperti Hongkong, Taiwan, Korea dan Jepang, situasinya memang berbeda. Dijelaskannya, di Taiwan, tidak diizinkan mengirimkan pembantu rumah tangga dari negara lain. TKI yang berangkat kesana untuk merawat orang tua, bayi atau menjadi sopir. Di Hongkong, pembantu masuk dalam sektor kerja formal yang mengikuti aturan kerja sektor lainnya seperti mendapat libur Sabtu-Minggu, perlindungan kesehatan dan lainnya.

Penulis: Mukafi Niam