KH. Ma'ruf Amin: Muktamar Perlu Rumuskan Konsep yang Lebih Implementatif
NU Online · Senin, 8 November 2004 | 01:04 WIB
Jakarta, NU Online
Sebagai organisasi yang dipelopori oleh para ulama, NU tidak hanya dikenal secara keorganisasiannya saja, tapi juga diikuti oleh para warganya sebagai manhaj (sistem) keagamaan yang menganut madzhab ahlussunnah wal jama'ah (aswaja). Manhaj tersebut meliputi seluruh aspek seperti etika (akhlak), hukum, ekonomi, sosial, dan politik.
Secara keorganisasian, NU memiliki sejarah atau pengalaman dalam memecahkan permasalahan mendasar yang sempat menjadi perdebatan di kalangan warganya. Dalam persoalan politik, pada muktamar Situbondo (1984) NU mampu menerima asas Pancasila dan menghasilkan keputusan untuk kembali ke khittah, sebagai landasan bagi warga NU dalam bidang politik.
<>Keputusan yang tak kalah pentingnya dihasilkan dari Musyawarah Nasional (1992) di Lampung tentang prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang lebih dikenal dengan mabadi' khoiro ummah sebagai landasan moral warga NU. Prinsip itu antara lain ash-shidqu (kejujuran), al-amanah (dapat dipercaya), at-ta'awun (saling menolong), al-'adalah (adil), dan al-istiqomah (konsisten).
Namun demikian, menurut KH Ma'ruf Amin, selama ini NU masih belum merumuskan konsep yang sifatnya implementatif dari keputusan yang sudah disepakati tersebut. Seperti dalam bidang hukum Islam, saat ini NU belum menegaskan manhaj yang digunakan sebagai sistem pengambilan keputusan hukum. Padahal, hal ini perlu dilakukan agar dalam menetapkan hukum tidak menempuh jalan sendiri-sendiri. Apalagi jika suatu masalah terntentu belum ada ketetapan hukumnya dari nash maupun dari pendapat ulama terdahulu.
"Sering kali kita menghadapi suatu perbedaan pendapat, sementara masyarakat disuruh memilih sendiri. Masyarakat kan tidak memiliki kemampuan untuk membedakan pendapat mana yang lebih kuat. Jadi yang seharusnya dipilih pendapat yang arjahu (lebih kuat) tapi ia memilihnya sesuai selera," tuturnya kepada NU Online, Kamis (4/11).
Ma'ruf Amin menilai, pembahasan tentang manhaj dalam menetapkan hukum ini belum secara tuntas dilakukan. Di satu sisi, lanjutnya, banyak yang tidak tegas dalam menyikapi permasalahan sehingga seringkali keputusan yang diambil lebih dominan kepentingan-kepentingan politiknya daripada sebagai pandangan hukum. Sementara untuk mengeluarkan pandangan hukum seseorang harus punya ketegasan dan keberanian. "Kalau tidak boleh ya harus berani mengatakan tidak boleh, kalau boleh ya jangan bilang itu pendapat khilaf (menjadi perdebatan)," tambahnya
Oleh karena itu, lanjutnya, NU harus bisa merespon perkembangan walaupun tidak ada nash, tidak ada qaul, tidak ada af'al (tindakan), tidak ada tasharrufat (keteladanan) dari ulama sebelumnya, dengan syarat menggunakan manhaj-manhaj yang disepakati. Bahkan, pendapat-pendapat yang dulunya marjuh (lemah) atau yang ghairu masyhur (tidak populer) tapi sekarang bisa membumi atau dibutuhkan oleh pasar, menurutnya, hal itu bisa saja ditelaah ulang supaya yang marjuh itu bisa menjadi pendapat yang dapat dijadikan pegangan. "Pasar menghendaki demikian, karena yang semacam itu sebenarnya sudah menjadi 'úrf at-tijary (perilaku pasar) yang sudah menjadi 'urf (kebiasaan). Itu kita bisa melakukan perubahan paradigma pandangan, yang menurut saya di NU juga sudah melakukan seperti itu," jelasnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pada forum muktamar nanti NU bisa memulai, atau paling tidak merekomendasikan, hal-hal yang lebih implementatif agar tidak semua orang berbicara seenaknya sendiri tanpa landasan yang jelas. (aji)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
4
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
5
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
6
Sejumlah SD Negeri Sepi Pendaftar, Ini Respons Mendikdasmen
Terkini
Lihat Semua