Jakarta, NU.Online
Akumulasi dari ketidakadilan sosial, politik, hukum, ekomomi kalau terus dibiarkan akan menimbulkan masyarakat yang sakit, yang gejalanya mulai nampak sekarang seperti munculnya teror, perilaku orang bunuh diri karena persoalan-persoalan yang sepele, mencuri, membakar hidup-hidup pencuri yang tertangkap, tawuran antara pelajar, perilaku tidak taat hukum dan termasuk perilaku para pejabat yang tidak tanggap terhadap kebutuhan rakyat, demikian diungkapkan KH.Mustofa Bishri kepada NU.Online.
Kondisi ketidakadilan yang terus terjadi sementara keadilan seolah mimpi yang tergantung dilangit, menjadikan masyarakat kehilangan kendali dan frustasi. Ketegangan-ketegangan sosial seperti yang dijelaskan di atas akan makin memperkuat ambuguitas dalam sistem keyakinan seseorang atau masyarakat yang kemudian memfasilitasi munculnya kecemasan sosial. kecemasan inilah yang pada gilirannya melahirkan kekerasan yang berdampak pada perilaku destruktif, seperti, teror, tindakan bunuh diri yang dilakukan bukan saja orang kecil yang susah, melainkan golongan yang mampu pun terjadi, perkelahian pelajar, pelacuran dan gejala kekerasan lainnya. Ada ketegangan struktural antara nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, ada kontradiksi internal. Misalnya, Indonesia yang kaya raya ini telah memakmurkan sebagian kecil warganya, dan menyisakan ratusan jutaan lainnya dalam situasi ekonomi tak menentu, kondisi ini turut memicu abnormalitas perilaku masyarakat.
<>Lebih jauh, ungkap gus Mus, kekerasan dan perilaku masyarakat yang sakit itu merupakan cermin dari realitas social masyarakat akibat ketidakadilan. kalau masih dalam batas kemapuan manusia untuk menahannnya itu masih belum berakibat-apa-apa tapi kalau tekanannya itu terus menerus sampai diluar batas kemampuan seseorang itu yang kemudian menimbulkan sesuatu. Misalnya timbulnya teror itu kan sebetulnya dimulai dari adanya ketidakadilan yang tidak terlawan tapi berlangsung terus menerus akhirnya tidak tahan menjadi kejengkelan dan kemudian menjadi nekat sehingga orang lalu tidak ada pilihan lain kecuali menyakiti dirinya sendiri. Seperti Kondisi di Indonesia sekarang, dimana sulitnya mendapatkan keadilan. Apalagi sekarang sudah era keterbukaan dimana semua peristiwa orang tahu. "hingga orang bisa membanding-bandingkan yang mencuri ayam bisa langsung dibui sedangkan yang korupsi milyaran tidak masuk penjara. ini yg terus menekan dan mengakumulasi menjadi kebuntuan social," paparnya
Lalu bagaimaan solusinya, menurut gus Mus, mereka yang mempunyai kemampuan untuk merubah itu harus berikhtiar semua, terutama dari para pemimpin-pemimpin bangsa ini yang pertama kali paling bertanggung jawab, "terlanjur mau diberikan amanat. merekalah yang harus mencarikan solusi. jadi kalau mereka sendiri mengharapkan kesadaran masyarakat sedangkan mereka tidak berbuat apa-apa, itu sama saja bohong, seperti mengharapkan sesuatu yang tidak akan terjadi, " katanya.
Jadi pemimpin-pemimpin itu harus introspeksi diri mereka, mana yang tidak beres selama ini mana yang tidak bener mereka lakukan dan harus diperbaiki. "kalau cuma niatan saja untuk diperbaiki tanpa mengidentifikasi kesalahan-kesalahannya apa saja, ya sulit," ungkapnya. Orang itu tergantung pemimpinnya, kalau pemimpinnya bagus rakyatnya bagus, kalau pemimpinnya jelek bawahnya tambah tidak karu-karuan. tinggal bagaimana pemimpinnya saja.
ketika yang dipilih ini sudah tidak amanah maka dia akan bikin aturan dan kebijakan yang tidak amanah. Kondisi ini yg kemudian mendorong bangsa ini menjadi tidak fokus arahnya. Ia mencontohkan, sekarang rakyat itu memilih pemimpin di legislatif, sistemnya diatur sedemikian rupa supaya orang-orang yang berkepentingan bisa jadi birokrat. "jadi tujuannya bukan karena ingin indonesia ini baik tapi bagaimana nasibnya jadi baik itu yang bikin runyam," tegas rais syuriah PBNU ini.
Ia juga menjelaskan apabila target utama para pemimpin adalah kekuasaan, serta politisi dan pemimpin yang berlomba-lomba mempertahankan dan merebut kekuasaan, serta mencari celah agar dapat berkuasa, maka pastilah ada kesulitan untuk menyelesaikan problem-problem besar yang membelit masyarakat -bangsa ini. Mereka lupa bahwa tugas utama terpenting sesungguhnya adalah kebaikan bersama (general goodness), namun rakyat-terutama rakyat kecil-justru terabaikan. Rakyat tetap saja sulit mengusahakan sesuap nasi. Rakyat tetap saja sendirian. "perhatian dan kepedulian terhadap perbaikan nasib rakyat harus menjadi tujuan dari penyelenggaraan negara yang bersih untuk menghindari terjadinya masyarakat yang sakit," imbuhnya mengakhiri pembicaraan (Cih)
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
3
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
4
Gus Baha Ungkap Baca Lafadz Allah saat Takbiratul Ihram yang Bisa Jadikan Shalat Tak Sah
5
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
6
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
Terkini
Lihat Semua