Warta

Kenaikan Harga Obat Generik Membebani Rakyat

NU Online  ·  Selasa, 16 September 2003 | 18:39 WIB

Jakarta, NU.Online
Kenaikan harga obat generik berlogo (OGB) 5-50 persen oleh pemerintah mulai berlaku 31 Juli 2003 dinilai tidak rasional dan membebani ekonomi rakyat, kata Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta.

"Saya menilai kenaikan sungguh tidak rasional, karena selama ini produsen OGB mendapat untung besar terbukti memberikan potongan harga 10-70 persen kepada apotek yang menjualnya," kata Marius, di Jakarta, Selasa malam.

<>

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) itu menambahkan, kenaikan harga OGB lewat Surat Keputusan Menkes No.1112/Menkes/SK/VII/2003 tanggal 31 Juli 2003 juga dinilai melanggar kesepakan dengan DPR. "Dalam kesepakatan Komisi VII DPR dengan Menkes sebelumnya, bahwa kenaikan harga OGB yang disetujui sebesar enam - tujuh persen," katanya.

Dengan demikian, kenaikan harga OGB memberatkan beban ekonomi rakyat yang sedang mengalami resesi dan penurunan daya beli serta potongan harga obat generik dari produsen hanya dinikmati oleh apotek atau bukan konsumen.

Ketidakmampuan masyarakat membeli obat,  tidak hanya disebabkan tingginya harga obat, melainkan juga karena resep yang dibuat dokter. Artinya, setiap dokter pasti tahu jenis-jenis obat yang bisa digantikan dengan obat generik dan mana yang tidak. Bila ada jenis obat generiknya mengapa harus diresepkan dengan merek dagang yang jelas lebih mahal. “Kalau semua konsumen diharuskan membeli obat paten atau obat branded generic (merek dagang), tentu saja sekitar 30 sampai 40 persen penduduk Indonesia tidak mampu membelinya,” Papar  Ahmad, seorang konsumen di Jakarta kepada NU.Online.

Ia juga mengungkapkan biaya distribusi obat di Indonesia mahal dan tidak efisien. Ini disebabkan ketidak seimbangan rasio antara Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan jumlah apotek. "Selain tergolong mahal dan tidak efisien, bisnis obat di Indonesia tidak adil. Pasien yang jelas-jelas dalam keadaan sakit malah dikenakan biaya pengobatan yang tinggi," keluhnya

Kondisi ini mengakibatkan kecurigaan konsumen tentang mahalnya harga obat di Indonesia,  Ia mempertanyakan "apakah ada indikasi terjadinya kolusi yang melibatkan pabrik farmasi, Dokter, dan apotek," ungkapnya lugas.

Selain itu Marius Widjajarta menambahkan, iklan harga OGB di Indonesia lebih murah dari harga obat bermerek adalah tidak benar, karena banyak ditemukan obat bermerek dagang tertentu justru harganya lebih murah dibanding OGB.

Dia memberikan contoh, obat cotrimoksazol (100 tablet) OGB Rp19.265, sedang obat yang sama bermerek Sulprim hanya Rp11.000, Ampisilin OGB 500 mg (isi 100 kapsul) Rp44.750 dan obat bermerknya hanya Rp28.000,. (Cih)***