Warta

Kekayaan NU adalah Kemampuan Beradaptasi

NU Online  ·  Sabtu, 29 Januari 2011 | 10:11 WIB

Jakarta, NU Online
Salah satu kelebihan yang menjadi kekayaan NU adalah kemampuannya dalam beradaptasi dengan berbagai situasi sehingga berhasil menjalankan dakwahnya, seperti penggunaan media wayang atau gamelan yang merupakan warisan budaya sebelumnya.

Hal ini diungkapkan oleh pengamat politik Dr Yudhi Latif dalam Diskusi Politik Kebudayaan yang digelar oleh Lesbumi NU, Jum’at (28/1) sore di gedung PBNU.<>

Yudhi menjelaskan, kebudayaan terdiri dari tiga aspek, yaitu logika, etika dan estetika, yang semuanya menyatu untuk menghasilkan sebuah kebudayaan yang unggul.

“Islam Indonesia adalah heterodok, bukan ortodok, ini ala NU. Kekayaan NU adalah kemampuan beradaptasi, seperti penggunaan wayang dan gamelan, mampu menjaga keseimbangan tiga dimensi diatas menjadi aspek yang saling mengikat,” katanya.

Yudi yang lahir dan tumbuh besar di lingkungan NU di Sukabumi juga menjelaskan, agama bukan sesuatu yang hanya diakalkan. Ia mengaku lebih suka mendengar puji-pujian yang diperdengarkan dari masjid atau musholla menjelang sholat fardhu daripada mendengarkan ceramah ustadz di TV.

“Agama bukan sesuatu yang diakalkan saja, tetapi juga dinikmati. Puji-pujian mengingatkan kita kembali ke kenangan dan membawa ke nuansa spiritual yang tinggi,” paparnya.

Menurutnya, terorisme atau kelompok agama garis keras lahir dari tradisi agama yang mengabaikan dimensi estetika dan hanya mengandalkan logika saja.

Keberadaan Indonesia muncul dari gagasan kebudayaan lama, tidak datang dari ruang hampa. Usia NU yang lebih panjang dari republik ini menunjukkan NU merupakan rahim kebudayaan Indonesia. Banyak pemikir baru yang cenderung mengabaikan warisan adiluhung, salah satunya dengan menyingkirkan agama, sebagaimana yang terjadi di Barat, padahal tradisi di Asia, keberadaan negara justru menaikkan peran agama, bukan sebaliknya.

“Ini akibat terlalu berkiblat ke Barat, kita hanya jadi imitator. Saya lebih setuju pada konsep NU, al-muhafadhoh 'ala qodimisholih wal-akhdzu bil jadididil ashlah. Pertahankan tradisi lama yang baik, ambil yang baru yang lebih baik,” tandasnya.
 
Yudi juga menilai, para politisi belakangan ini semakin menurun kemampuannya dalam berbudaya dibandingkan dengan para pendiri bangsa. Argumentasi yang dimunculkan dalam perdebatan di parlemen seringkali mentok sehingga tidak ada estetika di dunia politik. Dunia ekonomi yang hanya bisa mengekspor barang mentah dan munculnya deindustrialisasi menunjukkan turunnya kemampuan produksi.

Disisi lain jika menengok ke belakang, para pendiri bangsa dengan sangat baik menunjukkan integrasi dari tiga dimensi. Soekarno-Hatta adalah pemikir hebat yang karyanya terus dibaca. Soekarno juga berkesenian dengan membuat naskah drama sementara Hatta banyak menulis puisi.

Etika juga dipegang teguh oleh para pendiri bangsa ini. Dalam perdebatan mengenai bentuk negara Indonesia, apakah kesatuan, federal atau konfederasi, proses pengambilan keputusan dilakukan dengan penuh etika dan menghargai pandangan kelompok minoritas.
 
“Dalam politik ada budayanya, yang sekarang sangat sulit terdeteksi keberadaannya,” terangnya.

Globalisasi yang terjadi sekarang ini telah melahirkan homogenisasi, tetapi disisi lain juga muncul pencarian keunikan. Mereka yang mampu bertahan adalah glokalisasi, yaitu memiliki global vision dan local wisdom, seperti perpaduan antara musik jazz dengan gamelan.

Hal ini juga ditunjukkan oleh keberhasilan pulau Bali dalam menarik wisatawan karena menawarkan keunikan yang tak ada di tempat lain, tetapi dengan fasilitas yang bagus sehingga memberi kenyamanan, yang membuat turis mau datang. (mkf)