Keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagai upaya luar biasa untuk menangani persoalan luar biasa, yaitu korupsi, yang telah menghancurkan bangsa Indonesia, perlu diperkuat.
Demikian dikatakan oleh Firmansyah Arifin, ketua Komisi Reformasi Hukum Nasional dalam dialog publik yang diselenggarakan “Menjaga Ritme Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH NU) di Jakarta, Kamis.<>
Melalui pengujian Mahkamah Konstitusi (MK), keberadaan pengadilan harus dilakukan rekonseptualisasi karena telah menyebabkan terjadinya dualisme dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi yang bisa berakibat terjadinya diskriminasi dan ketidakpastian hukum. Akhirnya, pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang Tipikor dan diberi waktu sampai 19 Desember 2009.
Firmansyah yang juga pengurus LPBH NU bidang pengkaderan ini menjelaskan keberadaan pengadilan ini perlu diperkuat mengingat korupsi yang sudah semakin merajalela dan menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam institusi pengadilan.
“Maraknya praktek mafia pengadilan, rendahnya integritas dan kredibilitas hakim telah menunjukkan lembaga ini tidak immune dari praktek korupsi sehingga kepercayaan masyarakat terhadap peradilan umum rendah,” katanya.,
Ia juga menunjukkan beban kerja yang tidak sebanding dengan jumlah hakim, terutama di tingkat pertama dan Mahkamah Agung MA), menjadi penyebab penanganan yang tidak jelas dan transparan.
Dalam laporan tahunan 2006, MA menunjukkan untuk peradilan tingkat pertama, setiap hakim rata-rata memiliki beban perkara 946, tingkat banding, 24 dan tingkat kasasi 540 perkara.
“Kondisi ini tentunya dulit diharapkan produktifitas hakim dalam penanganan perkara serta keputusannya kurang berkualitas dan berkeadilan,” terangnya.
Keberadaan pengadilan Tipikor dengan komposisi hakim ad hoc dan hakim karir, diharapkan mampu memulihkan kepercayaan terhadap institusi pengadilan, menjamin proses yang lebih independent, professional, fair dan adil.
Ia menunjukkan dukungan masyarakat terhadap keberadaan pengadiilan Tipikor ini bisa dilihat dari jajak pendapat yang dilakukan oleh harian Kompas di 10 kota besar di Indonesia yang rata-rata diatas 50 persen.
Meskipun keberadaan pengadilan ini ideal, sejumlah tantangan masih menghadang. Proses pembahasan dan pengesahan RUU Pengadilan Tipikor dikhawatirkan mengalami hambatan karena resistensi yang muncul dari kalangan DPR karena ada yang tidak suka dan “mengganjal” keberadaanya. Pemilu tahun 2009 juga menjadi hambatan bagi penyelesaian RUU ini.
Pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah untuk mengatasi korupsi yang sudah menyebar juga akan mengalami hambatan terkait sumber daya manusia (hakim ad hoc), anggaran dan pengawasannya sehingga bisa memperlambat atau tidak membentuk sama sekali pengadilan Tipikor. (mkf)
Terpopuler
1
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Agustus 2025, Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh
2
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
3
Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama
4
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
5
Pakar Linguistik: One Piece Dianggap Representasi Keberanian, Kebebasan, dan Kebersamaan
6
IPK Tinggi, Mutu Runtuh: Darurat Inflasi Nilai Akademik
Terkini
Lihat Semua