Warta

Kasus Ambalat: Akumulasi Kesalahan Pemerintah Atasi Perbatasan

NU Online  ·  Kamis, 10 Maret 2005 | 04:52 WIB

Samarinda, NU Online
Dari berbagai pendapat sejumlah kalangan di Kalimantan Timur menyimpulkan bahwa mencuatkan konflik di Perairan Ambalat dan Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kaltim merupakan akumulasi kesalahan pemerintah  pusat  tangani
persoalan wilayah perbatasan.

Dilaporkan  di Samarinda, Kamis sejumlah kalangan berpendapat bahwa masalah ini muncul akibat kesalahan Pemerintah Pusat dan pemimpin bangsa dalam menangani masalah perbatasan yang selama ini cenderung mengabaikan pembangunan di luar Pulau  Jawa  dan terlalu sibuk mengatur kekuasaan.

<>

"Kesalahan  ini bukan terjadi sekarang saja namun sudah mulai sejak masa Orba (Orde Baru), sehingga apabila dianggap sebagai suatu penyakit maka sudah tahap sangat kronis," kata pemerhati masalah politik Kalimantan Timur, Prof. Sarosa Hamongpranoto,
SH, M Hum.

Mantan Dekan FISIP Universitas Mulawarman Samarinda yang kini merupakan Pembantu Rektor II itu menjelaskan bahwa sejak zaman Orba, pembangunan di wilayah perbatasan baik darat maupun laut diabaikan.

Dengan kondisi seperti itu sehingga kawasan itu seperti "tak bertuan" sehingga dengan mudah kekayaan alam baik potensi perairan/perikanan dan kehutanan dengan mudah dijarah oleh pihak Malaysia.

Melalui  Keppres  44 Tahun 1994 tentang Pengembangan Kawasan Perbatasan, sejumlah perusahaan milik Primkopad termasuk PT. Yamaker (Yayasan Maju Kerja) milik TNI diminta untuk terlibat dalam mengelola hutan dengan tujuan sekaligus  sebagai  pengamanan kawasan itu.
 
Namun, ketika BJ Habibie menjadi Presiden dan Menhut saat itu Muslimin Nasution menemukan bukti bahwa peran dari TNI ternyata malah bukan mengamankan namun terindikasi berkolusi dengan cukong dari Malaysia untuk membabat hutan Indonesia.

Dalam  sebuah  seminar tentang pengelolaan hutan yang diselenggarakan Fakultas Kehutanan Unmul 2004, Direktur Forest Wacht Indonesia (FWI), Togu Manurung mengatakan bahwa ada hal yang menarik dari pernyataan pihak Pemerintah  Malaysia  bahwa  seharus Indonesia mempertanyakan mengapa kayu dari Indonesia dijual ke mereka.

Saat itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa Malaysia mencuri kayu dari Indonesia. "Dengan pernyataan itu, seharusnya kita melakukan introspeksi mengapa kasus ini terjadi, artinya masalah pengawasan kita di perbatasan lemah dan masih banyak indikasi terjadi penyimpangan seperti kolusi sehingga kayu dari Indonesia bisa lolos,"  kata Togu Manurung.

Faktanya, kebutuhan Industri kayu di Malaysia hampir tujuh juta meter kubik per tahun, sementara sebagian hutan di Malaysia, khususnya di kawasan perbatasan telah "disulap" menjadi lahan perkebunan sawit sehingga merupakan "pasar potensial" bagi kayu
ilegal hasil kegiatan illegal logging.

Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Kaltim melaporkan bahwa kegiatan illegal logging yang diduga melibatkan cukong kayu dari Malaysia telah melakukan aktifitasnya memasuki wilayah Indonesia.

Padahal  wilayah yang dijarah itu berdasarkan foto udara termasuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kayan Mentarang (luas taman nasional 1,2 juta hektare) yang disebut-sebut sebagai salah satu kawasan "benteng hutan tropis dataran  tinggi  yang
masih tersisa" di Indonesia.

Bahkan, akibat aktifitas pembabatan hutan secara gelap menyebabkan patok perbatasan bergeser antara lima sampai 15 KM hal itu jelas merugikan Indonesia karena luas wilayahnya berkurang.

Padahal, kawasan itu memiliki berbagai jenis satwa langka --termasuk jenis gajah Asia yang dianggap satwa yang sudah punah di Bumi Borneo-- serta keanekaragaman hayati khas Kalimantan termasuk situs dan peninggalan pra sejarah, seperti peti mati batu
yang usianya diperkirakan ratusan bahkan ribuan tahun.

Bupati Malinau, Marthin Billa mengaku berulang kali melaporkan tentang bergesernya patok perbatasan itu kepada Menhut, Mendagri, Deplu dan Menham namun tidak mendapat respon positif.
 
Kehidupan masyarakat    
Kondisi kehidupan warga di kawasan perbatasan --khusus wilayah darat-- sangat memprihatinkan, seperti di wilayah Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia Timur.

Wilayah ini hanya efektif dijangkau dengan pesawat terbang baik dari Samarinda, Tarakan maupun Ibukota Kabupaten Nunukan.

Karena belum ada akses jalan darat, maka berbagai barang hanya efektif dibawa melalui pesawat terbang. Hal itu membuat biaya transportasi menjadi tinggi sehing