Warta

Jelang Putaran II, Tebuireng Tetap Netral

NU Online  ·  Ahad, 25 Juli 2004 | 02:26 WIB

Jakarta, NU Online
Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) mengatakan sikap Pesantren Tebuireng secara institusi dalam pilpres putaran II, bersikap seperti NU yakni netral, namun hak memilih dari setiap santri, guru, dan alumni tidak akan dicegah dan diserahkan sepenuhnya kepada mereka.

"Kita berharap tidak golput saja, karena suara golput justru akan dapat dimanipulasi. Jadi, Tebuireng sama dengan NU yang netral, baik di putaran pertama maupun putaran kedua. Sikap sejumlah ulama NU yang mendukung capres tertentu dan ulama NU lainnya yang tidak mendukung bukanlah menggambarkan sikap NU secara organisatoris, melainkan hak pribadi," katanya seperti dikutip Antara di Surabaya, Minggu (25/07)

<>

Dalam kesempatan itu paman dari Gus Dur ini juga menilai saat ini ada "PKP" (Penumpang Kendaraan Politik) di kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) mulai dari pusat hingga daerah. "Di NU itu sekarang ada yang ingin khittah murni, tapi ada juga yang PKP atau penumpang kendaraan politik. Dampaknya memang kurang baik kepada NU-nya berupa politisasi NU," katanya seperti dikutip ANTARA di Surabaya, Minggu.

Menurut putra pendiri NU Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari itu, PKP muncul bukan dipicu konflik antar tokoh NU yang ingin berpolitik dengan dalih apa pun, melainkan dipicu aturan yang diberlakukan NU selama ini yakni non-aktif. "Saya cemas dengan PKP yang cenderung pada politisasi NU, padahal NU sudah kembali ke khittah (garis perjuangan sebagai organisasi sosial-kemasyarakaran), karena itu saya berharap aturan non-aktif itu dikaji dalam muktamar mendatang," katanya.

Dalam muktamar pada akhir tahun ini, katanya, peraturan non-aktif bagi pengurus yang aktif dalam legislatif dan eksekutif sebaiknya diganti dengan "mundur" atau bahkan "larangan" bagi pengurus NU menjadi calon legislatif dan eksekutif. "Kalau tidak mundur atau dilarang sama sekali, saya khawatir justru NU akan dijadikan kendaraan politik, sehingga kalau orang mau menjadi bupati, anggota DPR/DPRD, gubernur, dan sebagainya akan aktif di NU terlebih dulu," katanya.

Dampak negatif yang sudah terasa saat ini, katanya, terjadinya pergumulan yang tidak sehat antara Dewan Syuriah PBNU dengan tim sukses Megawati-Hasyim Muzadi, karena tim sukses Megawati-Hasyim dituduh "memanfaatkan" institusi dan atribut NU mulai dari cabang hingga wilayah. "Kasarnya, NU telah digunakan sebagai kuda tunggangan untuk kepentingan kekuasaan dan akhirnya kekayaan. Atau, kalau memang tidak mungkin ya sebaiknya NU menjadi partai politik saja, tapi hal ini pilihan terakhir," katanya. (cih)