Warta

Jangan Rusak Kekayaan Laut

NU Online  ·  Sabtu, 20 September 2003 | 09:00 WIB

Jakarta, NU.Online
Kekayaan laut dan nasib para nelayan selayaknya menjadi keperdulian kita bersama. Kekayaan laut sebagai rahmat dari Allah SWT haruslah disyukuri dengan menjaga dan melestarikannya. Sedangkan para nelayan kecil sebagai pihak yang lemah dan tertindas secara struktural memerlukan perjuangan yang membela dan membebaskan mereka dari sistem dan struktur yang tidak adil, untuk itu perlu dikeluarkannya peraturan-peraturan daerah yang memihak kaum nelayan. Demikian salah satu butir tausiyah (rekomendasi) Bahtsul Masa`il; "Fikih Perlindungan Nelayan" di PP. Darussalam Blok Agung Banyuwangi, 13 - 14 September yang diadakan oleh Jaringan Islam Emansipatoris (JIE)-P3M.

Dalam konteks inilah agama menemukan relevansinya dengan persoalan ummat, ungkap Direktur P3M KH Masdar F Mas`udi.  Pada prinsipnya agama diturunkan untuk menjadi kemaslahatan, perlindungan, dan rahmat bagi umatnya (rahmatan li al-`âlamîn). Agama diharapkan senantiasa bisa berdialog dan meramahi problem-problem kemanusiaan yang terus tumbuh dan berkembang dengan pesat. Dari sini, agama telah melaju dari titik-titik pemusatan terhadap masalah-masalah ketuhanan (teosentris) menuju titik-titik pemusatan terhadap masalah-masalah kemanusiaan (antroposentris). Agama telah menjadi elan pembebasan (emansipatoris) manusia dari struktur-struktur yang selama ini menindas dan memperbudak. Dalam proses berdialog dengan konteks, agama menempuh dua metode sebagai berikut, (i) merumuskan masalah dari pertanyaan-pertanyaan konteks (manusia) (ii) berupaya memberikan solusi-solsusi alternatif terhadap masalah-masalah nelayan. Nah, dua metode tersebut telah dielaborasi dalam tradisi fikih Islam sebagai suatu disipilin ilmu; di satu sisi merumuskan permasalahan dan di lain sisi memberikan solusi-solusi (hukum-hukum) sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

<>

Sementara itu melihat kondisi nelayan yang kian memperihatinkan, KH. Hisyam Syafaat, Rais Syuiah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi dan Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi. mengungkapkan dengan mengacu ayat Al-Quran bahwa Allah telah memuliakan anak adam (manusia) dan membawa mereka di darat dan laut, wa laqad karamna bani adama wa hamalnahum fi al-barri wal-bahri.. Ayat ini memberi pemahaman bahwa laut juga tidak kalah signifikan dengan darat apalagi wilayah Indonesia lebih luas lautan. Namun sayangnya potensi lautan masih belum digarap dengan baik. Acara Bahtsul Masail ini juga bertepatan dengan acara Haul Almarhum Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam KH Muchtar Syafaat yang ke 11, dan ikhtitaman (penutupan) pengajian Ihya Ulumiddin yang ke 17.

Menurut  Masdar seputar revitalisasi Bahtsul Masail NU. Selama ini Bahtsul Masail lebih identik dengan masalah-masalah `ubudiyah (ibadah) bukan masalah-masalah mu`amalat. Padahal masalah-masalah mu`malat lebih kompleks dan lebih `menantang` daripada sekadar membahas masalah-masalah ibadah. lebih lanjut, terdapat persoalan yang sangat mendasar antara al-ibadah dengan al-mu`amalah. Dalam masalah ritual peribadatan, nash-nash akan lebih dominan karena al-ashlu fi al-ibadah al-ittibâ` (dasar dari ibadah adalah mengikuti). Sedangkan dalam persoalan mu`amalat, nash-nash bukanlah segala-galanya, karena al-ashl fi al-mu`âmalah al-istishlâh (dasar dari mu`amalah adalah menelusuri kemaslahatan).

Dalam mencermati masalah yang dihadapi nelayan  Masdar menilai, realitas yang dihadapi sekarang adalah naiknya BBM, tidak adanya sistem pelelangan, Peraturan-Peraturan (Perda) yang tidak menguntungkan menyangkut retribusi, adanya ikan impor, dan permainan harga oleh pabrik ikan.  Mereka menceritakan bahwa permasalah utama bagi masyaralat nelayan adalah harga ikan yang tidak menentu, "karena tidak ada sistem pelelangan ikan, ataupun mayoritas buruh nelayan terjerat hutang sehingga hasil tangkapan mereka diserahkan kepada pengambak/pemilik kapal/pengepul dan harganya ditentukan oleh pemilik kapal," tandasnya.

Karena itu Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) di bawah koordinasi Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta berusaha mengemban visi dan misi agama yang transformatif, kritis, humanis dan berorientasi praksis. JIE-P3M ingin menarik agama yang selama ini berkutat di ruang privat menuju ruang publik. Sehingga agama bisa mengemban visi semula sebagai agama publik bukan sekadar agama privat. Proses dialog Islam Emansipatoris dengan publik dilaksanakan dengan metode “Bahtsul Masail” yang selama ini sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU).

Hingga saat ini, JIE-P3M telah melaksanakan tiga kali Bahtsul Masail. Pertama, Bahtsul Masail; “Fikih dan Dilema Tataniaga Tembakau” di Pondok Pesantren Nurul Islam, Jember, 3—4 April 2003. Kedua, Bahtsul Masail; “Fikih dan Dilema Perburuhan Imigran Indonesia” di PP. Nurul Haramain—PP. Qomarul Huda Lombok NTB, 19—20 Juli 2003. Terakhir, Bahtsul Masa`il; "Fikih Perlindungan Nelayan" di PP. Darussalam Blok Agung Banyuwangi, 13 - 14 September kemarin. (Cih)