Warta

Islam Gus Dur Islam Mainstrem

NU Online  Ā·  Jumat, 28 Januari 2011 | 10:37 WIB

Jakarta, NU Online
Pemikiran Islam yang dikembangkan oleh Gus Dur merupakan pemikiran Islam mainstream yang juga berkembang di dunia Islam lainnya seperti di Afrika, Asia Selatan dan kawasan dunia lainnya.

Kelompok salafi selama ini menganggap tidak boleh ada ciri keislaman yang mencerminkan wilayah tertentu dan menganggap Islam sebagaimana aslinya seperti diturunkan oleh Nabi Muhammad, padahal hal ini tidak masuk akal.<>

Pendapat ini dikemukakan oleh Greg Barton dari Monash University dalam diskusi tentang Gus DurĀ  di kantor Wahid Institute Jakarta, Rabu malam (26/1).

ā€œPemahaman Islam Gus Dur sejalan dengan Islam di dunia, Asia, Afrika dan lainnya,ā€ katanya.

Mengenai gagasan politik Gus Dur, Penulis biografi Gus Dur ini berpendapat, pemikiran politik Gus Dur merupakan bagian dari ide nasionalisme yang telah tumbuh sejak tahun 20-30-an dan merupakan persambungan pemikiran kakeknya KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim yang merupakan kakek dan ayahnya.

ā€œGagasan politiknya berasal dari gagasan nasionalisme dan Pancasila, tetapi pendekatannya penuh dengan nuansa keislaman, tetapi universal. Wajar jika ada persambungan pemikiran antara Gus Dur dengan para founding father Indonesia,ā€ tuturnya.

Dari pemikiran nasionalisme yang heterogen karena pluralitas yang terjadi di Indonesia telah menjadikan Gus Dur seorang negarawan yang luar biasa. Meskipun demikian, menurutnya pandangan Gus Dur tentang Islam dan nasionalisme bukanlah sesuatu yang unik. Banyak pemikir dan tokoh di bagian lain di dunia yang memiliki ide yang mirip.

Mengenai kenyentrikan Gus Dur, Barton berpendapat hal ini harus dilihat dari konteksnya dan sebagai manusia ia salah dan benarnya. ā€œNiatnya sangat baik dan jujur. Secara garis besar masuk akal tetapi dalam tataran mikro banyak yang sulit dipahami,ā€ terangnya.

Secara pribadi, Gus Dur memiliki masalah dengan penglihatan sehingga ketika menjadi presiden memerlukan bantuan orang lain untuk membaca atau mengamati situasi dan tidak semua orang di sekelilingnya baik.

Barton menuturkan, Gus Dur merupakan tokoh yang bergaul dan diterima di New York dan Jerussalem, tetapi disisi lain juga tetap rajin mengunjungi para ulama di berbagai pesantren kecil di seluruh pelosok Indonesia. Kondisi ini berbeda sekali dengan beberapa intelektual muslim yang hidupnya berjarak dengan para ulama NU di pelosok-pelosok desa.

ā€œOrang yang sudah biasa tinggal di Jakarta akan sulit untuk memahami mereka yang tinggal di desa. Sayang sekali kalau para generasi muda tak ada hubungannya dengan para seniornya,ā€ tandasnya.

Salah satu kemampuan Gus Dur dalam menjalin komunikasi dengan kelompok lain adalah karena pemahamannya dalam dunia sastra, yang bisa digunakan untuk menjembatani dunia yang berbeda sehingga orang yang tak memahami dunianya bisa diajak bersama.

Dikatakannya Gus Dur suatu ketika pernah membaca sebuah novel tentang kehidupan Yahudi, ia merasa ada persamaan antara sekolah Yahudi dan pesantren di Indonesia. dan ada aspek universal yang harus diperjuangkan bersama.

Baginya, Gus Dur merupakan pemikir yang sangat penting, walaupun ada bagian yang tidak rasional. Ia menyayangkan jika buah pikiran Gus Dur tersebut hanya tertulis dalam bahasa Indonesia sehingga orang asing tidak bisa membacanya. Karena itu ia menyarankan agar karya-karyanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris, yang selanjutnya bisa dikembangkan ke bahasa Arab, China dan lainnya.

ā€œOrang asing yang ketemu di memiliki kesan positif, tetapi banyak yang tak memiliki bacaan karyanya. Bukunya sebaiknya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang kemudian bisa dikembangkan ke bahasa lain seperti Arab atau China, apalagi ia merupakan mantan presiden,ā€ paparnya.

Hal yang harus dilakukan sekarang adalah melanjutkan perjuangan Gus Dur, walaupun tak semuanya mudah. (mkf)