Warta

Imam Churmen: Pemerintah Saat Ini Tidak Memiliki Keberpihakan Kepada Petani

NU Online  ·  Jumat, 7 Januari 2005 | 15:05 WIB

Jakarta, NU Online
Untuk menghidupi 200 juta lebih penduduk Indonesia, pupuk harus ditempatkan sebagai bagian dari produk untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan. Namun, karena tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada sektor pertanian, proses produksi pupuk ZA dan SP-36 yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman tebu untuk mencapai swasembada gula nasional pada 2007 biaya produksinya tidak disubsidi. Akibatnya, petani yang sedang melakukan pemupukan tebu saat ini  menjerit karena harga kedua jenis pupuk itu terus meroket.

Demikian dikatakan oleh Ketua Lembaga Perkembangan Pertanian NU (LP2NU) Imam Churmen  kepada NU Online, Jumat (7/1).

<>

Dia menyebutkan, sebagai akibat pupuk ZA dan SP-36 tidak disubsidi pemerintah, maka harga jual di lini tiga untuk jenis ZA mencapai Rp  1.540 per kg, sedangkan harga subsidi Rp 870 per kg. Sementara harga SP -36 kini mencapai Rp 1.900 per kg, sedangkan harga subsidi hanya Rp 1.320 per kg.

Sedangkan, harga pupuk ZA dan SP-36 seperti di Jawa Timur, Jawa Barat dan beberapa daerah sentra produksi untuk ZA, lanjut Churmen, sekitar Rp 1.540-Rp 1.600 per kg dan jenis SP-36 harganya mencapai Rp 1.840-Rp 1.900 per kg. "Pencabutan subsidi pupuk ZA dan SP-36 yang menyebabkan harga pupuk naik masing-masing 63 persen dan 32 persen dapat mengakibatkan kegagalan sektor pertanian tebu dalam mencapai  target swasembada gula nasional pada 2007 nanti," ungkapnya.

Saat kenaikan harga kedua jenis pupuk telah membuat petani tebu resah dan putus asa, buru-buru Menteri Pertanian Anton Apriyantono melalui Kantor Menteri Negara BUMN akan meminta PT Petrokimia Gresik untuk tidak menaikkan harga pupuk ZA dan SP-36 sampai ada keputusan final terhadap masalah subsidi kedua jenis pupuk itu. Alasannya, pihak Departemen Pertanian baru akan membicarakan hal itu dengan Departemen Keuangan mengenai tersedia tidaknya alokasi anggaran sebesar Rp 309 miliar untuk subsidi kedua jenis pupuk tebu itu. 

Meski terkesan peduli terhadap nasib para petani tebu, langkah yang ditempuh oleh Anton Apriyantono tetap dinilai Churmen kurang bertanggungjawab. "Seharusnya sebagai menteri yang bertanggungjawab terhadap nasib jutaan petani dan pangan nasional, menteri pertanian tidak cukup hanya menanyakan tentang ada tidaknya anggaran untuk subsidi pupuk petani kepada Departemen Keuangan. Seharusnya dia bersikap tegas, bahwa apa pun yang terjadi, Departemen Pertanian akan terus memperjuangkan subsidi pupuk," tanggap mantan ketua Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (Pertanu) Wilayah Jawa Tengah pada 1960 silam ini.

Komitmen untuk memperjuangkan nasib pertanian dan ketahanan pangan nasional ditegaskan oleh Churmen hingga saat terakhir dia  menjadi Wakil Ketua Komisi III DPR-RI periode 1999-2004. Ketika itu, tutur Churmen, dirinya membahas penyusunan APBN 2005 khususnya menyangkut anggaran sektor pertanian dan pangan. Menurutnya, secara prinsip kebutuhan pupuk untuk pertanian harus tetap disubsidi. Karena tantangan yang dihadapi petani bukan lagi tantangan dalam negeri, melainkan juga persaingan dengan komoditi yang sama dari negara-negara lain. Toh, niatan baik tidak selalu mendapat sambutan gembira.  Karena menurut Churmen, saat itu banyak pihak yang alergi dengan istilah subsidi sebab tekanan dari IMF. Padahal uang hasil pinjaman dari IMF kan tidak digunakan untuk sektor pertanian.

"Akhirnya saya katakan, secara prinsip pupuk petani harus tetap disubsidi, kalau kita alergi dengan istilah subsidi, kita ganti dengan istilah membantu produktivitas tanaman pangan petani. Sebab, sebaik apa pun bibitnya, kalau tanpa pupuk, tanaman yang dihasilkan akan buruk," kata Churmen.

"Komitmen untuk melindungi petani sangat berkaitan dengan tujuan Indonesia dalam meningkatkan ketahanan pangan, mau jadi apa bangsa Indonesia yang jumlahnya 200 juta lebih bila pangannya tergantung pada impor dari negara-negara lain," kata Churmen mengingatkan.

Meski demikian, Churmen tidak melulu mengritik pemerintah sebagai pihak yang seharusnya

bertanggungjawab dalam hal ini. Dalam hal ini, produsen pupuk juga harus turut pula bertanggungjawab.  Sebab, kasus pupuk ZA dan SP-36, berbeda dengan pupuk Urea untuk tanaman padi atau jagung. "Berbeda dengan Urea, pupuk ZA dan SP-36 itu tidak memerlukan subsidi gas. Cuma komponen lainnya, atau bahan bakunya berasal dari bahan impor. Saya menyarankan agar biaya produksi pupuk tidak terlalu mahal, para produsen pupuk bisa bekerjasama dengan sarjana-sarjana pertanian dan kimia dalam negeri untuk mengganti bahan impor itu dari bahan  lokal yang lebih murah. Dan saya percaya hal itu tidak sulit, asalkan para produsen mempercayai kemampuan para sarjana pertanian da