Ideologi Islam harus dimaterialkan agar mampu menggait pemilih pada pemilu 2009 mendatang. Partai politik yang memakai ideologi Islam jangan sampai menafsirkan Islam secara verbal, simbolis dan formalistik, tanpa aparatus dan praktik.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arief Mudatsir Mandan dalam disertasi doktoral yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Terbuka Guru Besar Universitas Indonesia, Jum’at (11/7) menyebutkan, ideologi Islam yang di masa lalu menjadi penggerak roda partai politik belakangan ini tampak kehilangan daya dorongnya.<>
Pada beberapa pemilu terakhir dan terutama diamati pada dua pemilu terakhir (1999 dan 2004) cukup memberikan gambaran yang jelas bahwa pamor kekuatan politik yang menggunakan ideologi Islam terus menurun.
Dalam disertasi bertajuk ”Ideologi Politik bagi Kaum Santri” yang mengambil fokus pada asas Islam dalam PPP, Arief menyebutkan, ideologi Islam dalam PPP tidak ditafsirkan secara material, oleh karena itu tidak dihayati dan tidak diyakini apalagi direproduksi dan dipertahankan dalam tingkat nasional.
”Penafsiran ideologi yang bersifat verbal, simbolis dan formalistik, biasanya hanya diminati oleh kaum tua dan kalangan Islam di tingkat lokal yang jumlahnya kecil dan semakin berkurang,” kata Arief menyebut daerah Jepara, Jawa Tengah, yang saat ini masih didominasi oleh PPP.
”Jika PPP masih mempertahankan ideologi Islam, saya menyarankan, agar melakukan reinterpretasi total terhadap ideologinya secara kontekstual bersifat inklusif, moderat dan substansial. Islam yang seperti inilah yang sesungguhnya bisa memenuhi tuntutan sebagian terbesar muslim Indonesia,” tambahnya.
Menurut Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni PMII (IKAPMII) itu, golongan Islam yang berada di 'tengah' dan merupakan kelompok moderat, jumlahnya cukup besar dan mereka sekarang ini sedang menyalurkan aspirasi politiknya ke partai sekuler.
Menurutnya, harus ada langkah konkrit dari PPP, berupa upaya ’desakralisasi terbatas' yaitu desakralisasi sebagai metode berfikir (way of thing king) bukan desakralisasi sebagai paradigma.
”Banyak ajaran yang seharusnya bersifat duniawi oleh sebagian kaum muslimin, untuk kepentingan tertentu, dibuat menjadi sesuatu yang sakral. Padahal politik, misalnya, itu kan urusan dunia, bukan sesuatu yang sakral,” kata Arief kepada NU Online. (nam)
Terpopuler
1
Innalillahi, Nyai Nafisah Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Meninggal Dunia
2
Keutamaan Bulan Muharram dan Amalan Paling Utama di Dalamnya
3
Innalillahi, Buya Bagindo Leter Ulama NU Minang Meninggal Dunia dalam Usia 91 Tahun
4
Sosok Nabi Daniel, Utusan Allah yang Dimakamkan di Era Umar Bin Khattab
5
Waketum PBNU Jelaskan Keistimewaan Belajar di Pesantren dengan Sanad
6
Khutbah Jumat: Menyadari Hakikat Harta dan Mengelolanya dengan Baik
Terkini
Lihat Semua