Warta BATSUL MASAIL HIMASAL

Hermeneutika Tak Pas untuk Tafsiri Qur’an

NU Online  ·  Senin, 21 Maret 2011 | 04:20 WIB

Brebes, NU Online
Hermeneutika sebagai sebuah metode tafsir tengah digandrungi para intelektual muslim Indonesia. Seperti kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), Paramadina dan lain-lain. Mereka mengkaji berbagai teks, termasuk Al Quran yang berupa teks dipelajarinya dengan metode hermeneutika.

Guna memberikan pemahaman hukum tentang persoalan aktual berdasarkan fiqih, maka Himpunan alumni santri Lirboyo (Himasal) Kabupaten Brebes menggelar Batsul Masail tentang Hermeneutika di pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Desa Dumeling Kec Wanasari Brebes Ahad (20/3).<>

Ketua Panitia penyelenggara Batsul Masail KH Abdul Azis Aqim menjelaskan, kegiatan ini digelar secara periodik. Terutama ketika ada persoalan-persoalan yang mengemuka untuk kemudian dibahas secara mendetail, dilihat dari hukum fiqih.

Batsul Masail yang dihadiri ratusan Alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ini, mengambil tema paradigma tafsir hermeneutika dalam perspektif manhaj fiqih liberal. Sebagai pembanding ustadz Ahmad Sururi.

“Kegiatan ini merupakan kali kedua, yang sebelumnya telah digelar di  pesantren Anidhom Nurul Huda Gamprit Brebes dalam tema yang berbeda,” terang Kiai Azis.   

Acara berlangsung dalam perdebatan yang sengit dan hangat dengan saling mengemukakan berbagai argumentasi dengan mengacu pada hukum fiqih. Akhirnya, forum tersebut menyimpulkan bahwa ilmu tafsir sebagai metode mempelajari dan memahami al Quran masih tetap relevan digunakan untuk memahami dan mencari makna Al Quran.

Al Quran dan ilmu tafsirnya tetap sesuai dan dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan baik pada masa silam, sekarang maupun nanti. “Adapun hermenuetika tidak sepatutnya diaplikasikan untuk memahami kandungan makna Al Quran yang sebenarnya, terlebih untuk menggantikan posisi ilmu tafsir yang sudah mapan dalam studi Islam,” simpul Sururi.

Ketua Pengurus Cabang Himasal Brebes KH Mulyani menambahkan, Al Quran adalah final, tetap tidak akan berubah. Keotentikannya tetap terjaga kemurniannya hingga akhir zaman. Berbeda dengan Bibel yang tidak final dan selalu berubah-ubah. Terdapat beraneka ragam versi Bibel dan bahasa yang digunakannya, karena itu hermeneutika diperlukan untuk mengetahui makna aslinya.

“Tren di kalangan modernis Islam, khususnya di Indonesia yang mengadopsi hermeneutika sebagai alternatif tafsir Al Quran adalah absurd,” terang Mulyani.

Pasalnya, kritik dan tantangan mereka pada ilmu tafsir pada hakekatnya tak lain adalah bukti ketidakmampuan mereka menangkap konsep tafsir dan tafaqquh dalam tradisi intelektual islam.

Kecenderungan mereka mengaplikasi hermeneutika dalam kajian Al Quran tidak sesuai dengan pemahaman terhadap hal-hal yang metafisik dan epistimologis yang mendasarinya. JIL dan Paramadina, lanjutnya, tidak memahami konsep realitas dan kebenaran teori hermeneutika  serta membandingkannya dengan konsep ilmu tafsir.

“Masih banyak aspek yang perlu digali dan dipelajari oleh umat Islam tentang tafsir Al quran daripada mengadopsi dan memodifikasi hermeneutika dalam memahami Al Quran,” tandasnya. (was).