Warta

Hermeneutika ditolak di komisi Diniyah

NU Online  ·  Selasa, 30 November 2004 | 15:37 WIB

Solo, NU Online
Peserta sidang komisi Masa'il Diniyah Maudlu'iyah (Masalah Keagamaan Tematik), yang mengambil tempat di Masjid Almabarur asrama haji Donohudan, akhirnya menolak hermeneutika sebagai metode dalam menafsirkan al-Qur'an. Berbagai alasan ilmiah dikemukakan untuk menolak metode ini. Tapi ada yang hanya karena alasan tidak suka dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), yang sering menggunakan metode ini.

Awalnya, forum dibuka oleh KH Sa'id Aqil Siraj, yang ditunjuk sebagai narasumber sekaligus pimpinan sidang, dengan melontarkan persoalan ini kepada muktamirin. Sa'id Aqil pun mendudukkan perkaranya dengan menejelaskan asal-usul dan pokok pikiran dari metode ini. Sehingga muktamirin pun menangkap duduk permasalahannya.

<>

Tapi, ketika pimpinan sidang membuka kesempatan muktamirin untuk menanggapinya. Kontan, banyak peserta yang mengajukan pendapatnya. Sebagaimana biasanya, ada yang menerima, tapi juga ada yang menolak. Para peserta mengemukakan pendapat dengan berbagai pendekatan, baik ilmu tafsir, ushul fikih, dan melontarkan berbagai landasan dalil, baik Qur'an, Hadits maupun pendapat sahabat. Kesempatan berbicara pun diberikan kepada peserta dari berbagai daerah secara merata.

Pihak yang menolak antara lain, seperti Dr.Sayutihi Dosen UIN Syarif Hidayatullah, menganggap metode ini tidak membedakan teks (nash) dari sumber yang berbeda, baik yang dari Tuhan (Allah), Nabi atau para sahabat. Padahal, antara Qur'an, Hadits dan pendapat sahabat jelas berbeda cara mendekatinya. Selain itu, alasan menolak karena metode hermeneutika akan membawa terombang-ambingnya umat. Namun ada peserta yang menolak hanya karena tidak suka denga JIL, sebagaimana pendapat peserta dari Palembang.

Bagi yang menerima, metode hermeneutika bisa digunakan untuk menafsirkan Qur'an dan untuk menurunkan hukum dari sumbernya (istinbath hukum). Hal ini, memang tidak pernah dilakukan dalam tradisi madzhab Syafi'i yang hanya menafsirkan teks dengan teks. Tapi, metode ini sebenarnya pernah dipraktikkan oleh Imam Syatibi yang juga ulama Sunni. Lagi pula, metode ini bisa menghasilkan ketetapan hukum yang sesuai dengan kemasalahatan.

Namun, setelah melalui perdebatan yang sengit, karena banyak dari peserta yang menolaknya, maka pimpinan sidang pun memutuskan menolak metode ini sebagai metode menafsirkan al-Qur'an. Meskipun, sebelum ditetapkan, ada yang mengusulkan untuk ditangguhkan masalah ini (mauquf), seperti usulan Prof. Dr. Machasin dan Ghazali Sa'id, MA. Alasannya, tidak arif kiranya melakukan penolakan kalau permasalahan itu sendiri kurang banyak yang memahaminya. Sementara, menerima pun percuma kalau masalah inipun belum dikuasai sepenuhnya. Tapi, karena banyak muktamirin yang menolak akhirnya keputusan tidak dapat diubah. (aji)