Warta

Hasyim Muzadi : Kalau Mau Rekonsiliasi Hapus Luka Lama

NU Online  ·  Rabu, 3 Desember 2003 | 10:33 WIB

Jakarta, NU.Online
Rekonsiliasi bangsa Indonesia dapat diwujudkan jika seluruh elemen bangsa dapat menghapus luka lama.  Jika luka masa lalu dibuka kembali hanya akan mewariskan konflik kepada generasi sekarang.

Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi saat Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di gedung DPR, Jakarta, Rabu (3/12).

<>

KH Hasyim Muzadi bersama ketua PP Muhammadiyah Yahya Muhaimin dan ketua Dewan Dakwah Islamiah (DDI) Husein Umar diundang DPR untuk memberikan masukan bagi pembahasan RUU KKR.

Selanjutnya Hasyim Muzadi mengatakan, tragedi masa lalu cukup dialami oleh generasi masa lalu, yang sebagain besar sudah meninggal atau sudah tua. Generasi muda sekarang bukanlah pelaku peristiwa tragedi masa lalu. Sehinga tidak perlu mendapat dosa warisan dari pendahulunya.

Hasyim mengambil contoh Peristiwa 1965. Saat peristiwa berdarah itu terjadi, generasi yang lahir tahun 60 pasti tidak tahu menahu soal tragedi tersebut.  Maka jika peristiwa tragis tahun 65 itu dibuka kembali, katanya, itu sama saja dengan membuka luka lama dan menimbulkan konflik baru.

"Sebaiknya ditutup saja tragedi masa lalu itu. Yang penting, negara menghilangkan ekses-ekses yang timbul akibat tragedi masa lalu itu," papar pengasuh pondok pesantren mahasiswa Al Hikam, Malang, Jawa Timur itu

Lebih lanjut Cak Hasyim menjelaskan, negara bisa merehabilitasi nama baik korban Peristiwa 1965.  Anak-anak dan cucu-cucu korban Peristiwa 1965 tidak perlu ikut menjadi korban. Hak-hak sipil merka harus dipulihkan atau diberi kompensasi. “Membuka tragedi masa lalu justru akan menghalangi terjadinya proses rekonsiliasi. Artinya bangsa kita akan sulit dari kemelut dendam-mendendam,” ungkapnya.

Sementara itu ditempat yang sama, ketua bidang pendidikan PP Muhammadiyah, Yahya Muhaimin, menyatakan konflik masa lalu sebaiknya diselesaikan lewat cara-cara kultural. Pendekatan yuridis formal tidak cukup menyelesaikan masalah. Selain itu, yang lebih penting adalah penegakan hukum.

Mantan Menteri Pendidikan Nasional itu, memberikan contoh pertikaian dalam kasus Irlandia Utara, yang penyelesaiannya melelahkan. Kasus itu justru lebih efektif diselesaikan dengan cara budaya, misalnya melakukan pertandingan olahraga antara pihak-pihak yang bersengketa. Budaya Indonesia yang paternalistik, menurut Yahya, sangat cocok untuk menyelesaikan konflik. Masyarakat akan mengikuti apa yang dikatakan oleh orangtua dalam artian sebagai institusi, entah itu elit atau ulama yang dituakan.

Salah satu hal yang menyulitkan penyelesaian konflik di Indonesia, katanya, adalah sifat orang Indonesia yang sulit melupakan peristiwa masa lalu. Misalnya, orang Aceh tak mudah melupakan peristiwa tragis yang terjadi 30 tahun lalu, katanya.

Lain halnya pendapat Ketua DDI Husein Umar. Tokoh Islam garis keras ini keberatan atas rencana diperlakukannya RUU KKR. Menurutnya, upaya rehabiltasi kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI) akan memberikan kesempatan kembalinya PKI. “kami bukan tidak setuju, tapi rekonsiliasi dengan PKI sekarang ini belum saatnya. Jadi saat ini RUU KKR belum perlu,” katanya.

Husein Umar mempertanyakan, kenapa yang harus rehabilitasi cuma orang-orang PKI. Padahal, katanya, banyak kasus lain juga perlu mendapat rehabilitasi dari bangsa ini. Husien mencontohkan, aktif DI TII, Pramesta dan sebagainya. “Banyak juga aktifis Islam yang mendapat diskriminasi kenapa mereka tidak dibahas untuk direhabilitasi,” ungkapnya. (Cih/ful)***