Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berpendapat kondisi politik di Indonesia belakangan ini semakin tidak jelas akibat kualitas dan rekrutmen para wakil rakyat tidak jelas karena hanya bermodal “Manohara” atau maneuver dan huru-hara.
"Apakah ada kualitas politik untuk membangun? Legislatif sekarang kerjanya juga hanya mengukur lembaga lain padahal dia juga masuk tanpa ukuran, tanpa standardisasi. Cukup modalnya 'manohara', manuver dan huru hara," tutur Hasyim dalam Seminar Nasional "Masyarakat Sipil dan Demokratisasi di Indonesia di Indonesia: Belajar dari Pengalaman Pemilu/Pilkada" di Hotel Gran Mahakam, Rabu (5/8).<>
Tak banyak persyaratan untuk terkenal dan menjadi wakil rakyat di Indonesia, mereka hanya cukup pinter bermanuver dan memiliki ‘gizi’ atau dana untuk mempromosikan dirinya.
Menurutnya, di satu sisi, system trias politika sekarang memiliki peran yang hampir seimbang, tetapi tidak disertai sinergi antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Diantara lembaga lembaga yudikatif sendiri seperti Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) juga sering tidak sepaham.
Akibat ketidakjelasan dan kerancuan ini, akhirnya yang menang adalah siapa yang memiliki uang, seperti yang terjadi dalam pemilu legislatif, pilkada atau pilpres, karena rakyat juga sudah bosan diberi janji dan menjadi pragmatis dengan memilih siapa yang memberi uang.
"Dengan demikian, dia sudah merasa cash and carry sehingga dia merasa membeli amanat. Ketika nanti janjinya ditagih, dia bilang dia kan sudah beli. Dalam kondisi seperti ini harus dirumuskan bagaimana civil society akan tumbuh," tandas Hasyim.
Dengan nada guyon, Hasyim menyindir para caleg yang tidak modal untuk berkampanye sebagai anggota dari ICMI atau Ikatan Caleg Miskin Indonesia (ICMI). Tak banyak dari anggotanya yang bisa terpilih. (mad)
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berpendapat kondisi politik di Indonesia belakangan ini semakin tidak jelas akibat kualitas dan rekrutmen para wakil rakyat tidak jelas karena hanya bermodal “Manohara” atau maneuver dan huru-hara.
"Apakah ada kualitas politik untuk membangun? Legislatif sekarang kerjanya juga hanya mengukur lembaga lain padahal dia juga masuk tanpa ukuran, tanpa standardisasi. Cukup modalnya 'manohara', manuver dan huru hara," tutur Hasyim dalam Seminar Nasional "Masyarakat Sipil dan Demokratisasi di Indonesia di Indonesia: Belajar dari Pengalaman Pemilu/Pilkada" di Hotel Gran Mahakam, Rabu (5/8).<>
Tak banyak persyaratan untuk terkenal dan menjadi wakil rakyat di Indonesia, mereka hanya cukup pinter bermanuver dan memiliki ‘gizi’ atau dana untuk mempromosikan dirinya.
Menurutnya, di satu sisi, system trias politika sekarang memiliki peran yang hampir seimbang, tetapi tidak disertai sinergi antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Diantara lembaga lembaga yudikatif sendiri seperti Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) juga sering tidak sepaham.
Akibat ketidakjelasan dan kerancuan ini, akhirnya yang menang adalah siapa yang memiliki uang, seperti yang terjadi dalam pemilu legislatif, pilkada atau pilpres, karena rakyat juga sudah bosan diberi janji dan menjadi pragmatis dengan memilih siapa yang memberi uang.
"Dengan demikian, dia sudah merasa cash and carry sehingga dia merasa membeli amanat. Ketika nanti janjinya ditagih, dia bilang dia kan sudah beli. Dalam kondisi seperti ini harus dirumuskan bagaimana civil society akan tumbuh," tandas Hasyim.
Dengan nada guyon, Hasyim menyindir para caleg yang tidak modal untuk berkampanye sebagai anggota dari ICMI atau Ikatan Caleg Miskin Indonesia (ICMI). Tak banyak dari anggotanya yang bisa terpilih. (mad)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meraih Keutamaan Bulan Muharram
2
Koordinator Aksi Demo ODOL Diringkus ke Polda Metro Jaya
3
5 Fadilah Puasa Sunnah Muharram, Khusus Asyura Jadi Pelebur Dosa
4
Khutbah Jumat: Memaknai Muharram dan Fluktuasi Kehidupan
5
Khutbah Jumat: Meraih Ampunan Melalui Amal Kebaikan di Bulan Muharram
6
5 Doa Pilihan untuk Hari Asyura 10 Muharram, Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
Terkini
Lihat Semua
