Warta

Hanya 82 Persen Lulusan SD Yang Melanjutkan Ke SLTP

NU Online  ·  Selasa, 9 September 2003 | 16:16 WIB

Jakarta, NU Online
Lulusan Sekolah Dasar (SD) yang melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hanya 82persen, sedangkan sisanya tidak melanjutkan.

Direktur Pendidikan Lanjutan Pertama Depdiknas, Hamid Muhammad,mengatakan di Jakarta, Selasa, faktor ekonomi adalah faktor utama yang menyebabkan banyaknya siswa lulusan SD yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SLTP.

<>

Meski Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) telah dibebaskan oleh pemerintah, pemerintah tetap merasa kesulitan meningkatkan kemampuan siswa untuk bertahan hingga wajib belajar diselesaikan seluruh anak usia sekolah secara sempurna.

"Masalahnya yang lain-lain itu yang berat bagi orang tua siswa,seperti sarana, perlengkapan sekolah, buku- buku, dan lainnya,"katanya.

Kalau seluruh biaya pendidikan anak untuk tingkat SD sekitar 29 juta jiwa dan SLTP sekitar 9,4 juta jiwa, bisa dibebaskan,pemerintah mengkalkulasi setidaknya harus mengeluarkan Rp25 triliun per tahun, merupakan jumlah yang sangat besar.

Sebanyak Rp25 triliun tersebut jika diuraikan yaitu untuk per siswa SD per tahun Rp1.165.000 dan untuk per siswa SLTP Rp1.541.000 per tahun.

Rincian untuk per siswa SLTP per tahun misalnya, terdiri atas basic cost gaji guru Rp799 ribu, buku-buku Rp240 ribu, alat bantu Rp84 ribu, peralatan sekolah Rp10 ribu, langganan jasa Rp17 ribu dan kebersihan Rp21 ribu, serta extra cost seperti perpustakaan,pemberdayaan guru dan perlengkapan komputer.

Hamid mengatakan, karena pemerintah belum sanggup maka di era otonomi daerah ini sekolah mencari sendiri dana untuk menutupikegiatannya, dan yang paling mudah untuk dijadikan sasaran akhirnya orang tua siswa, padahal orang tua siswa belum tentu mampu.

Pada 2001 wajib belajar sembilan tahun hanya bisa diselesaikan anak Indonesia sebesar 74 persen, dan pada 2002 menurut data BPS hanya 79 persen. Ia menargetkan wajib belajar bisa dituntaskan sebesar 90 persen pada 2008.

"Saat ini kami sedang membuat cetak biru wajib belajar yang disusun sendiri rencana aksinya oleh tiap propinsi dan kabupaten,termasuk dana yang harus dikeluarkan setiap daerah plus dana dekonsentrasi yang dibutuhkan," katanya.(mkf)

Â