Warta

Habib Umar: Kita Kehilangan ‘Kasepuhan’

NU Online  ·  Senin, 13 Juli 2009 | 10:29 WIB

Tegal, NU Online
Era modernisasi membawa umat pada zaman fatroh, yang mana petuah-petuah kasepuhan tidak lagi digubris. Bahkan seakan tokoh-tokoh kasepuhan tidak lagi bermunculan, sehingga gerak langkah kita dalam beribadah tidak terkontrol dan lebih menjamur model-model peribadatan yang digampangkan dan menggampangkan.

“Kita telah kehilangan kasepuhan. Orang NU, harus mencari dan tunduk pada salah satu ‘Sang Guru’ (kiai, ulama, ajengan, red) sebagai tempat mengadu dan menimba ilmu,” pesan ulama sepuh Jawa Tengah Habib Umar Muthohar dari Semarang saat mengisi taushiyah, Peringatan Isra’ Mi’raj, Sunatan Massal dan Harlah Fatayat-Muslimat NU Anak Cabang Talang Kabupaten Tegal di SMP Al Mi’roj Pekiringa Tegal, Ahad (12/7).<>

Akibat hilangnya para kasepuhan, lanjut Habib Umar, umat jalan sendiri-sendiri. Dan para generasi muda lebih memilih pada jalurnya sendiri yang dianggapnya gampang. Model-model Islampun akhirnya tumbuh bagai jamur dimusim hujan. “Padahal, Islam itu hakekatnya satu, Islam bukan hasil percampuran dari berbagai budaya Arab, Indonesia, Jawa, misalnya,” lanjutnya.

Ketika ada golongan yang mengaku Islam yang betul seperti di Arab, itu sangat keliru. Kesatuan Islam bisa dilihat pada tamsil Buroq pada saat Isra’ Mi’raj. Dan perlunya bimbingan dari ulama kasepuhan, dipercontohkan Nabi SAW yang selalu bertanya ke Malaikat Jibril tentang berbagai peristiwa dan tanda-tanda yang diperlihatkan Allah SWT dalam ‘perjalan malam’ tersebut. “Ulama, layaknya jadi panutan dalam berbagai pergerakan menuju jalan lurus,” papar Habib Umar.

Mantan Ketua PW IPNU Jateng ini, juga mengkritisi kinerja NU yang ditata hanya saat menjelang Pemilu saja. Baik itu Pilkada, Pilgub, maupun Pilpres. “Kalau jelang pemilu rame-rame ada konsolidasi, rapat ini-itu. Meski NU bukan aliran sesat tapi NU bias-bisa jadi aliran sesa’at,” kritiknya.

Aliran sesa’at, lanjutnya, NU hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat oleh petinggi-petinggi NU saja. Seperti kasus JK-Win, Habib Umar memandang kekalahan tersebut bukan kekalahan NU. Tapi kekalahan para petinggi NU. “Itu permainan para elit-elit NU. Sebab, para alit (akar rumput) tidak dilibatkan baik secara emosional maupun kultural,” tandasnya.

Ditengah zaman fatroh, Habib berpesan agar para Nahdliyin takzim dan tawadlu pada mursyid (gurunya) masing-masing. Namun jangan sampai menjelekan guru-guru lain. Pasalnya, masing-masing mursid memiliki keahlian masing-masing. “Kalau kita manut sang guru thorikot ini, yang jangan jelekan thorikot itu,” pinta Habib Umar yang juga Pengelola Majalah Al Mi’roj Semarang itu. (was)