Gus Dur: Islam Formalistik Tidak Pikirkan Kesejahteraan Manusia
NU Online · Rabu, 8 September 2004 | 14:14 WIB
Jakarta, NU Online
Pernyataan tersebut disampaikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika memberikan sambutan pembuka seminar dengan tema “Kitab Suci dan Realitas Multikultural: Menata Kembali Peran Islam Dalam Demokratisasi di Indonesia” yang diselenggarakan The Wahid Institute di Four Seasons Hotel, Kuningan, Rabu (8/9).
Menurut Gus Dur, pemahaman Islam seperti itu juga telah menempatkan Islam seakan – akan mengajarkan sikap egois. “Padahal menurut saya di Al-Quran banyak ayat yang berbunyi Ya Ayuha An-nashu, yang merupakan seruan yang ditujukan kepada umat manusia,”tambahnya.
<>Gus Dur bahkan mengungkapkan pemaknaannya terhadap ayat yang bunyinya diawali dengan “Ya Ayuha Al-ladzina Amanu”. Gus Dur mengungkapkan bahwa dirinya menafsirkan kata “Amanu” dalam hal ini sebagai bukan hanya dimaksudkan untuk orang Islam saja, melainkan juga untuk orang-orang non Islam yang beriman. “Saya bersedia didebat dengan menafsirkan demikian,”tandasnya.
Dalam menafsirkan konsep ‘kebaikan’, Gus Dur masih melihat belum banyak kemajuan. Karena dengan memperlakukan Islam secara formal, kata Gus Dur, konsep ‘kebaikan’ pun ditafsirkan secara terbatas, misalnya dalam bentuk tindakan menyingkirkan batu di jalan raya. Padahal, kata Gus Dur, kebaikan itu memiliki arti luas. “Pembuatan program kredit pedesaan pun dapat dikategorikan ke dalam konsep ‘kebaikan’. Begitu juga program pemberdayaan ekonomi rakyat miskin,”ungkap Gus Dur.
Akibat dari penafsiran yang terbatas itu, lanjut Gus Dur, tidak jarang kalau ada orang Kristen membuat program pengentasan kemiskinan, dimusuhi karena dianggap Kristenisasi.
Di sinilah Gus Dur mengingatkan pentingnya memikirkan perbaikan nasib masyarakat miskin. “Kalau kebaikan dimaknai secara luas, tidak perlu ada kebencian terhadap orang non Islam,”ujarnya.
Berkaitan dengan sempitnya penafsiran terhadap konsep ‘kebaikan’, Gus Dur menceritakan dialog antara dirinya dengan salah seorang gurunya. “Salah seorang guru saya, Kiai Sonhaji dari Kebumen bertanya pada saya, apakah sampean ingat hadits yang berbunyi bahwa Islam itu seperti tubuh yang satu, kalau yang satu sakit, semua ikut merasakan sakit. Saya pun menjawab, benar kiai,”kata Gus Dur mengisahkan. “Kembali Kiai Sonhaji bertanya pada saya, kenapa banyak orang Islam yang kaya raya tetapi tidak merasakan penderitaan orang Islam yang mayoritas miskin,”lanjut Gus Dur .
Di sinilah teks-teks Al-Quran, kata Gus Dur, perlu dipahami secara makro. Untuk bisa mengentaskan kemiskinan tidak cukup dengan zakat, jadi harus dengan pendekatan struktural untuk mengentaskan kemiskinan.
Masih mengenai penafsiran teks, Gus Dur menceritakan tentang hasil penelitian seorang orientalis yang bernama Charles. Hasil penelitian Charles mengenai Al-Quran ditemukan, bahwa Al-Quran berisi konsep-konsep profesi sebagai ukuran. Salah satu contoh ayat berkaitan dengan hasil penelitian ini dikutip Gus Dur sebagai berikut: “Barang Siapa yang menghutangi Allah SWT dengan hutang yang baik, maka Allah SWT akan mengembalikan dengan melipatgandakan”.
“Maksud dari ayat ini mengenai kredit rakyat, kredit usaha. Bukan kemudian Allah SWT pinjam duit,”kata Gus Dur.
Setelah sambutan pembuka Gus Dur, The Wahid Institute menghadirkan beberapa nara sumber dalam seminar pada hari ini, antara lain M. Jadul Maula, Prof. Dr. Nasir Hamid Abu Zayd dari Leiden, Prof. Dr. Nico Kaptein, Dr. Moeslim Abdurrahman, Bisry Effendy, dan Yahya C. Staquf.(Dul)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua