Warta

Fundamentalisme, Liberalitas Pemikiran dan Khittah akan Dibahas di Muktamar

NU Online  ·  Senin, 6 April 2009 | 07:06 WIB

Jakarta, NU Online
Muktamar ke-32 NU yang akan berlangsung Januari 2010 mendatang akan membahas sejumlah tema besar yang menjadi permasalahan warga NU. Beberapa materi yang akan dikupas diantaranya adalah masalah fundamentalisme, liberalitas pemikiran dan khittah NU.

KH Hasyim Muzadi dalam paparannya pada rapat pleno panitia muktamar pekan lalu menjelaskan gerakan fundamentalisme telah menjadi ancaman bagi Islam di Indonesia yang moderat. NU sebagai komunitas Islam terbesar di Indonesia yang menjadi sasaran kelompok ini.<>

“Gerakan ekstrim tertata dengan rapi dan mereka bergerak secara sistematis karena memiliki money, managemen, dan militansi. Yang menjadi sasaran pasti NU karena komunitas terbesar dan kedua Muhammadiyah,” katanya.

Upaya perusakan terhadap NU dilakukan melalui perdebatan-perdebatan masalah khilafiyah, mempertanyakan hubungan agama dan negara, dan aspek praktis lainnya seperti upaya pengambilalihan masjid. “Ini perlu difikirkan tersendiri dalam pra muktamar, kita analisa dan kita buat antisipasinya,” tandasnya.

Persoalan lain adalah liberalitas pemikiran juga semakin berkembang di Indonesia yang jika tidak disaring, akan menghilangkan seluruh nilai agama dan tradisi yang ada dalam Islam.

“Kalau ekstrimitas akan menghancurkan citra Islam dan kepribadian NU, maka liberalitas langsung mengarah pada akidah, syariah dan manhaj. Maka perlu memilah antara  pengembangan pemikiran di NU dan liberalitas pemikiran yang maunya orang lain,” tuturnya.

Ditegaskannya, NU sama sekali tidak menolak pengembangan pemikiran, terbukti NU dalam keputusan Munas di Lampung pada tahun 1992 memutuskan penggunaan metode manhaji, bukan kouli atau metodologis bukan tekstual.

“Saya sama sekali tidak menolak pengembangan pemikiran, tetapi saya sangat prihatin terhadap jual beli fikiran,” tegasnya.

Pusat-pusat pengembangan Islam yang ada di Barat, seperti McGill University, Harvard, Barkeley, Australian National University (ANU) tidak melihat Islam sebagai agama, tetapi sekedar sebagai budaya dan gejala sosiologis saja. “Mereka sama sekali tidak berbicara tentang nilai-nilai yang dipegang umat Islam, mereka tidak bicara halal-haram,” terangnya.

Pemikiran liberal tersebut bisa berkembang melalui funding-funding yang membiayai penyebarluasan ide-ide tersebut dikalangan umat Islam Indonesia.

Hasyim juga menyatakan perlunya difikirkan kembali masalah khittah, khususnya secara teknis agar cocok dengan kondisi saat ini mengingat khittah dibuat pada tahun 1984 saat partai politik hanya berjumlah tiga.

“NU secara organisatoris tetap khittah, tetapi dengan adanya 3 partai yang merasa basisnya NU, menyulitkan umat yang di bawah,” ujarnya.

Perpecahan yang menimpa partai berbasis NU ini bisa menjadi ancaman semakin turunnya pengaruh NU dalam politik nasional karena adanya ketentuan parlementary threshold (PT). Jika PKNU tidak lolos PT, akan menyebabkan banyak suara hangus sementara di sisi lain, suara PKB diperkirakan akan turun drastis.

“Kita boleh menutup mata terhadap mereka, tidak mengurusi mereka, tapi yang terjadi, mereka bermain di kamar NU, dan ini sangat mengganggu ukhuwah. Saya minta muktamar ini bukan hanya memperkuat netralitas, tetapi membikin beres mereka, masih bisa apa tidak,” tegasnya.

Seperti sudah dikatakan beberapa kali sebelumnya, NU mendirikan partai sebagai pembawa aspirasi NU, sayangnya belakangan malah membawa masalah. “Ada dua hal yang harus kita lakukan, khittah dengan implementasi dan bagaimana memanimilisir efek pertikaian ini, syukur kalau meneruskan mereka sebagai bagian dari kekuatan NU,” imbuhnya. (mkf)