Warta

Bush dan Bulan Suci Ramadhan

NU Online  ·  Sabtu, 6 November 2004 | 08:25 WIB

Brisbane, NU Online
Apa arti Ramadhan bagi presiden terpilih Amerika Serikat (AS) George W. Bush? Sebagai seorang Kristiani, tentu bulan sucinya kaum Muslimin ini tak berarti apa-apa secara spiritual bagi dirinya. Namun, jika dikaitkan dengan karir politiknya, orang nomor satu Amerika ini boleh jadi Ramadhan memberi arti yang tak begitu saja bisa diabaikan. Mengapa?

Terlepas dari apakah sebuah kebetulan atau tidak, kemenangan Bush atas calon presiden Partai Demokrat, John Kerry, terjadi di bulan ketika lebih dari satu miliar umat Islam di dunia sedang berpuasa. Lebih dari itu, "perang terhadap terorisme" yang dideklarasikannya beberapa saat setelah terjadinya tragedi 11 September 2001 yang menghebohkan rakyat AS dan warga dunia itu pun justru dimulai pada Ramadhan tiga tahun lalu.

<>

Perang ini pula yang menurut sejumlah pengamat politik, seperti mantan penasihat senior Bill Clinton dan penulis buku Rewriting History (2004), Dick Morris, telah membantu kemenangan Bush dalam pemilihan presiden AS 2004 ini. Saat itu, persis sebulan setelah tragedi yang menewaskan sedikitnya 2.750 orang dan menyebabkan kerugian sekitar $100 miliar dolar AS itu, Bush mulai menerapkan doktrin "serangan mendahului" (pre-emptive strike) yang tak lain adalah invasi terhadap negara lain.

Adalah Afghanistan yang menjadi korban pertama doktrin perang Gedung Putih ini guna menghukum rezim Taliban yang dituduhnya telah melindungi Usamah bin Ladin, tersangka utama insiden yang telah meruntuhkan ikon kedigjayaan perekonomian dan militer Amerika tersebut. Dibantu para milisi anti-Taliban, AS melancarkan invasinya ke negara Asia Selatan itu dengan melibatkan sekitar 17.000 pasukan bersenjata canggih, termasuk 8.000 tentara dari 27 negara yang berkoalisi dengan AS.

Invasi itu berhasil menjatuhkan rezim Taliban dan merusak jaringan komando dan berbagai kamp pelatihan Al-Qaidah di sana, namun gagal menangkap para tokoh kunci Taliban dan Al Qaidah yang menjadi buronan nomor wahid Gedung Putih. Selama invasi itu pula, pasukan AS menghujani negeri yang tak pernah berhenti dilanda perang dan konflik bersenjata itu dengan 24 ribu bom, termasuk 13 ribu "bom pintar" (precision-guided weapons).

Akibatnya, tidak sedikit warga sipil Afghanistan tak bersalah, termasuk wanita dan anak-anak, tewas dihantam "bom-bom pintar" Amerika itu pada saat banyak di antara mereka menunaikan saum (ibadah puasa) Ramadhannya. Alasan pemerintahan Bush untuk tetap melanjutkan serangannya ke Afghanistan selama Ramadhan, kendati para pemimpin dunia Islam, seperti Indonesia dan Malaysia, meminta Washington agar mengurungkan niatnya itu, adalah kenyataan sejarah sejumlah perang dalam Islam yang juga berlangsung di bulan suci itu.

Kemenangan Bush dalam pemilihan presiden 2004 yang penyelenggaraannya bertepatan dengan sakitnya Presiden Palestina, Yasser Arafat, ini juga tidak luput dari kaset rekaman pernyataan Usamah bin Ladin. Seperti diungkapkan Moris dalam tulisannya di koran The Australian (4/11), kaset rekaman Usamah itu merupakan tamparan terakhir bagi strategi Kerry yang mencoba menggugat deklarasi perang Bush terhadap terorisme.  Bagi para pemilih di AS, kaset rekaman tersebut justru mengingatkan mereka pada kenyataan bahwa dunia masih belum aman, sehingga mereka memberikan mandatnya kepada Bush yang mereka nilai mampu secara agresif dan efektif melindungi tanah air dan rakyat Amerika dari bahaya dan ancaman teroris seperti yang mereka alami pada 11 September 2001.

Islam dan umat Islam

Dalam perangnya terhadap terorisme itu, Bush berupaya memilah mereka yang dianggap musuh dari Islam dan arus besar umat Islam. Pemisahan tersebut tampak dalam pidatonya pada 11 Oktober 2002 ketika ia secara tegas menyebut musuh perang "teror"-nya itu adalah "mereka yang membajak Islam".

Bush mengatakan, "Islam adalah agama yang hidup. Jutaan warga negara kami merupakan penganutnya. Kami menghormati keyakinan (agama) ini. Kami menghargai tradisi-tradisi Islam ini. (Tapi) musuh kami tidak. Musuh kami tidak mengikuti tradisi-tradisi agung Islam. Mereka "membajak" agama agung ini." Petualangan Gedung Putih di Afghanistan yang berakhir dengan perubahan rezim di Kabul dari Taliban ke tangan konco dekat Bush, Hamid Karzai, itu ternyata dilanjutkan dengan petualangan berikut di Irak dengan mengusung alasan yang sama: perang terhadap terorisme.

Baghdad jatuh dan Presiden terguling Saddam Hussein pun tertangkap walaupun tuduhan Washington bahwa Irak terkait dengan jaringan Al Qaidah dalam insiden 11 September 2001 dan negeri itu memiliki senjata pemusnah massal tak terbukti. Bush bahkan mengklaim dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam putaran debat calon presiden AS beberapa waktu lalu bahwa dunia lebih aman tanpa Saddam Hussein.