Warta

Berpuasa Harus Siap "BOM"

NU Online  ·  Senin, 27 Oktober 2003 | 21:34 WIB

Jakarta, NU.Online
Ibadah puasa yang kita kerjakan harus siap dengan "BOM" (bantu orang miskin), karena esensi puasa yang sebenarnya adalah bukan sekedar menahan makan dan minum sejak fajar hingga terbit matahari tapi adalah sebuah kesadaran sosial untuk membantu kaum dhuafa' dan peduli terhadap sesama, demikian diungkapkan Drs. Ahmad Luthfillah di sela-sela ceramah menjelang tarawih di Masjid Al-Husna, Bekasi  Selasa (28/10).

Dalam ceramah singkatnya, alumnus perguruan IKAHA (instititut Keguruan Hasyim As'yari ) Jombang itu menegaskan, kesadaran sosial artinya tidak rido terhadap penindasan, peka terhadap ketimpangan sosial, dan meletakkan keberpihakan kepada kaum lemah. Serta melepaskan manusia dari keterasingan-keterasingan terhadap dunianya sendiri.

<>

Misalnya, banyak orang rajin puasa tapi melakukan korupsi. Banyak orang berpuasa tetapi melakukan kebohongan publik.Cobalah kita mawas diri terhadap puasa kita masing-masing, pasti timbul pertanyaan, "Puasa saya yang seperti ini, bisakah menjamin masuk surga?'' Karena dalam ajaran agama tidak disebutkan dengan jelas tentang makna puasa yang seperti apa, yang menjamin seseorang masuk surga. Ajaran Islam belum pernah membuka pintu kritik bagi umatnya, karena diklaim sebagai perusak agama

Maka dalam puasa itu seyogyanya seseorang melakukan refleksi diri, evaluasi diri, dan analisa terhadap apa yang dilakukan selama hidup, "jangan puasa hanya dijadikan kedok untuk berbuat jahat dan melindungi diri dari perbuatan tercela. Ini terutama didasarkan kepada orang yang tidak pernah mengadakan refleksi atas puasa yang bisa menjamin seseorang masuk surga," tegas da'i muda yang sedang membangun pesantren di kawasan Bekasi itu.

Akibat dari "pengkeroposan makna"  ini, pemikiran dalam Islam menjadi sangat sempit bahkan terbengkalai. Akibat yang lebih parah lagi akan menjadikan Islam sebagai "agama gulma'', orang memandangnya dari luar kuat tetapi keropos.

Ia mengatakan, belum pernah ada dekonstruksi terhadap makna puasa yang merupakan jaminan masuk surga. Apakah seorang penipu rakyat, koruptor, pelaku kolusi, dan nepotisme yang rajin puasa akan masuk surga atau neraka, belum pernah mendapat jawaban. "Jangan-jangan puasa yang dilakukan orang sedunia ini hanya merupakan penipuan terhadap Tuhan dan manusia", kritik alumnus pesantren Tebuireng ini di depan jama'ah.

Karena itu menurutnya, jika dilihat kerusakan moral di Indonesia tidak terlepas dari terjadinya kemerosotan pemahaman agama. Orang sudah merasa sebagai orang Islam, jika sudah melakukan puasa tanpa berusaha mengungkap kekhusukan puasa.

Secara epistemologi, ibadah baik ritual maupun sosial seharusnya menggambarkan nilai keimanan seseorang. Salat misalnya, adalah sarana komunikasi dengan sang pencipta. Jadi bukan hanya pekerjaan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, tetapi lebih kepada pekerjaan hati yang secara total menyerahkan diri kepada Allah. Jika seseorang yang sudah melaksanakan salat tetapi dia membiarkan penindasan dan ketidakadilan terjadi di depan mata, maka dia belum bisa dikatakan sudah salat.

Lebih lanjut Ustad Muda ini menjelaskan, seluruh aktivitas ibadah hakikatnya adalah seluruh totalitas kehidupan kita mulai dari lahir sampai mati. Salat, puasa dan ibadah lainnya hakikatnya harus bisa mencegah dari perbuatan fakhsya dan mungkar. (Cih)***