Warta

Aturan Iklan Rokok Perlu Diperketat untuk Lindungi Masyarakat

NU Online  ·  Selasa, 26 Agustus 2008 | 11:29 WIB

Jakarta, NU Online
Upaya untuk melindungi masyarakata dari bahaya merokok perlu dilakukan dengan berbagai model, salah satunya dengan meninjau kembali aturan iklan produk rokok dengan lebih ketat.

Ketua Lembaga Pelayanan Kesehatan LPK NU dr Syahrizal Syarif PhD berpendapat selama ini ‘pertempuran” antara produsen rokok dan masyarakat tidak seimbang. Ia melihat iklan rokok diberi ruang yang sangat luas di ranah publik sehingga berhasil menjaring banyak konsumen potensial.<>

“Pertempuaran  ini tidak seimbang, peerintah mesti menyadari, mereka membela kepentingan industri rokok atau melindungi warganya,” katanya ketika dihubungi NU Online, Selasa (26/8)

Dari pengalamannya belajar dan berkunjung di luar negera, sejumlah negara maju mengatur iklan rokok dengan sangat ketat. Salah satunya, perusahaan rokok tidak boleh menjadi sponsor kegiatan olah raga atau seni seperti yang terjadi di Indonesia, yang akhrinya menyebabkan setiap sudut kota dipenuhi oleh umbul-umbul rokok.

“Saya raya kalau disini berlebihan, seolah-olah tidak ada sumber pendanaan selain dari industri rokok,” paparnya.

Aturan ketat dan pembatasan-pembatasan tersebut merupakan sebuah tahapan untuk melidungi masyarakat. Ia menyatakan memang harus diakui industri rokok memiliki keterkaitan dengan banyak fihak seperti keuntungan pajak bagi pemerintah, tenaga kerja, petani tembakau dan lainnya.

Penyadaran kepada masyarakat akan bahaya merokok menurutnya juga harus ditingkatkan, termasuk dikalangan remaja yang menjadikan rokok sebagai gaya hidup tanpa mempertimbangkan akibatnya.

Sebelumnya Komisi Perlindungan Anak meminta kepada Majelis Ulama Indonesia untuk mengharamkan rokok akibat tingginya tingkat penetrasi rokok pada remaja dan anak-anak akibat gencarnya promosi dari industri rokok.

“Tanpa disadari, rokok memiliki sifat adiktif yang bisa menyebabkan kecanduan, sementara informasi bagi anak tidak seimbang. Mereka hanya tahu merokok merupakan bagian dari perilaku dan gaya hidup tanpa mengetahui bahayanya,” terangnya.

Di sejumlah negera, usia merokok dibatasi minimal 18 tahun dan mereka yang membeli atau menjual di bawah usia tersebut dikenakan sanksi. “Merokok merupakan bagian dari privacy, tetapi anak-anak dilindungi karena dianggap belum mengerti,” tambahnya.

Syahrizal juga berpendapat pengetahuan kalangan pesantren akan bahaya yang diakibatkan oleh rokok masih terbatas. Sosialisasi akan dampak yang ditimbulkan dari rokok menurutnya sangat penting bagi kalangan ini. (mkf)