Ali Masykur Musa: Pemerintahan SBY Seharusnya Tinjau Ulang Kebijakan R & D
NU Online · Selasa, 2 November 2004 | 20:50 WIB
Jakarta, NU Online
Kita mungkin masih mengingat dengan baik, bagaimana Sjamsul Nursalim dan delapan penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lainnya mendapat "hadiah" dari Kejaksaan Agung dengan dibebaskan dari tuntutan pidana maupun perdata pada 22 Juli 2004.
Mereka mendapatkan sertifikat penghentian penyidikan dalam kasus penyalahgunaan Bantuan Dana Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang semula ditaksir merugikan keuangan negara sebesar Rp 138,5 triliun dari total dana yang disalurkan sebesar Rp144,5 triliun yang dikucurkan antara kurun waktu 30 Desember 1997 sampai 29 Januari 1999 kepada 48 bank.
<>Penetapan pembebasan dari tuntutan hukum pidana maupun perdata terhadap para bankir kakap dimaksud diputuskan dalam rapat internal Kejaksaan Agung 13 Juli dan diumumkan pada 22 Juli bulan lalu.
Menurut penjelasan pihak Kejaksaan Agung waktu itu, ihwal pembebasan itu sendiri bersumber dari Instruksi Presiden (Inpres) No. 8/2002 tentang Release & Discharge. Inpres tersebut mengatur Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Para Debitor yang telah menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Salah satu isi Inpres itu, membebaskan obligor (penghutang) kelas kakap itu dari aspek pidana.
Meski banyak pihak yang menentangnya, pada waktu itu presiden Megawati tak sedikitpun ingin mengurungkan kebijakannya yang kontroversial itu. Kesembilan obligor kelas kakap itu pun menikmati pembebasan hukum di atas penderitaan rakyat.
Kesembilan obligor (penghutang) kelas kakap itu adalah mereka yang terdiri dari Komisaris Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Syamsul Nursalim. Denington, pemilik Bank Baja Internasional (BBI), Husodo Angkosubroto (Bank Sewu Internasional), Hashim S. Djojohadikusumo pemilik Bank Papan Sejahtera, Bank Istimarat , dan Bank Pelita, dan Hokiarto (Bank Hokindo), Bank Dana Utama, Bob Hasan (Bank Umum Nasional). Samadikun Hartono (mantan Presiden Komisaris Bank Modern) dan Kaharuddin Ongko (mantan Wakil Presiden Komisaris Bank Umum Nasional). Keduanya dipidana bebas. Hendra Rahardja (mantan Presiden Komisaris Bank Harapan Sentosa), Bambang Sutrisno (mantan Wakil Presiden Komisaris Bank Surya), dan Adrian Kiki Ariawan (mantan Presiden Direktur Bank Surya), divonis penjara seumur hidup. Namun, di tingkat kasasi, Hendra Rahardja divonis mati. Sampai putusan tetap dijatuhkan, Hendra Rahardja tidak pernah kembali ke Indonesia.
Dari sembilan penerima dana BLBI, Sjamsul Nursalim menggunakan dana negara sebesar Rp 10,09 triliun. Berdasarkan keputusan Kejaksaan Agung, Sjamsul Nursalim yang sudah memperoleh secara resmi sertifikat SP3. Sedang lainnya menyusul meskipun pemberhentian penyidikan telah diputuskan oleh Kejaksaan Agung.
Sjamsul Nursalim sendiri sekarang mukim di Singapura. Ia sempat disidik di Kejaksaan Agung dan ditahan semasa Jaksa Agung Marzuki Darusman. Tetapi setelah menginap semalam, ia minta izin berobat dengan alasan sakit.
Sampai akhirnya berobat ke Jepang dan kemudian pindah ke Singapura. Sampai putusan SP3 dikeluarkan, ia masih mukim di Singapura bersama keluarganya. Masyarakat, termasuk di dalamnya para pengamat ekonomi dan hukum tak mampu menghentikan kebijakan yang tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat itu.
Meski demikian, pemberian R & D kepada sembilan obligor kelas kakap itu menjadi catatan tersendiri bagi kalangan pengamat. Ketika berlangsung Dialog Capres dan Cawapres di Hotel Hilton, Rabu (15/9), para pemerhati hukum dan ekonomi pun serasa mendapat kesempatan untuk mengungkap apakah Susilo B. Yudhoyono sebagai calon presiden waktu itu memiliki visi kerakyatan?
Pengamat ekonomi Lin Che Wei pun menanyakan sikap SBY berkaitan dengan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada bankir yang telah menghabiskan dana BLBI. "Ini kan sangat menyakitkan, karena utang makin besar, sementara rakyat harus membayar pajak lebih banyak,”tandas Che Wei memperjelas pertanyaannya.
Menjawab pertanyaan itu, SBY berjanji akan melakukan perbaikan di sektor hukum, sehingga ketidakadilan seperti itu tidak terjadi lagi. Namun, janji sekedar janji, dan benar saja kata Didi Petet, janji-janji para Capres hanya bersifat retoris. Dan betul, baru enam hari setelah dilantik, pada 26 Oktober, melalui Menteri Koordinator Perekonomian Abu Rizal Bakrie, dikatakan bahwa pemerintah tidak akan meninjau ulang kebijakan mengenai Release & Discharge terhadap sejumlah obligor BPPN yang telah mempergunakan fasilitas likuiditas dari negara selama krisis ekonomi 1997/1998.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
4
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
5
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
6
Sejumlah SD Negeri Sepi Pendaftar, Ini Respons Mendikdasmen
Terkini
Lihat Semua