Syariah

Mempercayai Hari Sial Justru Bisa Bikin Sial

Sel, 6 November 2018 | 11:15 WIB

Mempercayai Hari Sial Justru Bisa Bikin Sial

Kepercayaan terhadap adanya hari sial bisa dilacak keberadaannya sejak masa jahiliyah. (Ilustrasi via Pinterest)

Kepercayaan terhadap adanya hari sial bisa dilacak keberadaannya sejak masa jahiliyah. Hari-hari tertentu dianggap sebagai hari yang membawa petaka atau kesialan, misalnya hari Rabu terakhir setiap bulannya. Keyakinan ini juga tetap ada setelah Islam datang, bahkan hingga kini.
 
Dalam interaksi sosial, tak jarang kita mendengar bahwa kesialan-kesialan itu nyata dalam arti betul-betul terjadi sesuai tanda-tanda yang ada sehingga pelakunya menyarankan untuk menghindari kesialan tersebut. Berbagai testimoni tentang bahaya hari sial atau tanda-tanda sial itu makin membuat beberapa pihak yakin bahwa hari sial betul-betul ada. Di lain pihak, kita temui juga orang-orang yang sama sekali acuh dan kelihatan tak terpengaruh dengan hari sial atau aneka pertanda sial. 
 
Dari aspek aqidah, meyakini adanya hari sial cukup bermasalah sebab kesialan atau keberuntungan itu hanya bisa diberikan oleh Allah semata berdasarkan sifat irâdah atau sifat Maha Berkehendak Bebas. Ketentuan beruntung atau sialnya seseorang sudah ditulis di Lauh Mahfudz sejak alam belum tercipta. Sama sekali tak ada hubungannya dengan hari atau momen tertentu. 
 
Sebab itu, Syekh as-Suhaili, sebagaimana dinukil dalam Kasyf al-Khafâ’ menjelaskan:
 
وقال المناوي نقلًا عن السهيلي: نحوسته على من تشاءم وتطير، بأن كانت عادته التطير وترك الاقتداء بالنبي -صلى الله عليه وسلم- في تركه، وهذه صفة من قل توكله، فذلك الذي تضر نحوسته في تصرفه فيه ثم قال المناوي: والحاصل أن توقي يوم الأربعاء على وجه الطيرة وظن اعتقاد المنجمين حرام شديد التحريم؛ إذ الأيام كلها لله تعالى لا تضر ولا تنفع بذاتها وبدون ذلك لا ضير ولا محذور، ومن تطير حاقت به نحوسته، ومن أيقن بأنه لا يضر ولا ينفع إلا الله لم يؤثر فيه شيء من ذلك
 
“Imam al-Munawi berkata dengan menukil dari as-Suhaili: Kenahasan/kesialannya hanya bagi orang yang meyakini bahwa hal itu membawa sial (tasya’um) dan bagi orang yang meyakini tanda-tanda kesialan (tathayyur) berupa kebiasaannya untuk meyakini adanya kesialan melalui tanda-tanda dan meninggalkan ikut Nabi yang meninggalkan keyakinan seperti itu. Ini adalah sifat orang yang sedikit tawakalnya, maka orang itulah yang tertimpa kesialannya ketika melakukan sesuatu di hari itu. 
 
Kemudian Imam al-Munawi berkata: Kesimpulannya, bahwa orang yang menjaga diri di hari Rabu dengan alasan thiyarah (menjadikannya sebagai tanda kesialan) dan meyakini aqidah ahli nujum adalah tindakan yang sangat haram. Sebab, seluruh hari adalah milik Allah Ta'ala, tak bisa memberikan celaka atau manfaat secara independen dan tanpa hal itu maka tak ada kecelakaan atau pun larangan. Siapa yang meyakini adanya tanda-tanda sial (tathayyur), maka kesialan akan mengepungnya. Siapa yang meyakini bahwa tak ada yang dapat memberi kecelakaan atau manfaat kecuali Allah, maka semua hal itu tak berpengaruh baginya.” (al-Ajluni, Kasy al-Khafâ’, Juz I, halaman 19-20)
 
Jadi, menurut Imam pakar hadits terkemuka, al-Munawi, hari sial itu pada dasarnya tak ada. Adanya anggapan bahkan hari tertentu atau kejadian tertentu adalah tanda akan terjadinya kesialan justru akan membuat orang yang meyakininya tertimpa kesialan. Adapun orang yang yakin bahwa hal seperti itu sama sekali tak berpengaruh, maka tak ada sama sekali hari sial atau hal-hal pembawa sial baginya. Dengan kata lain, yang menerima efek kesialan hanya mereka yang percaya tathayyur saja. 
 
Ini menjelaskan kenapa masyarakat perkotaan yang kebanyakan tak mengenal konsep seperti ini menjalani hidupnya dengan normal tanpa terpengaruh hari sial, sedangkan di kalangan masyarakat pedesaan yang masih lekat dengan kepercayaan seperti ini justru banyak ditemukan testimoni kesialan akibat melakukan pantangan di hari sial.
 
Dari sudut pandang agama, hal ini berkaitan dengan firman Allah dalam hadis qudsi bahwa Allah mengikuti prasangka hamba-Nya tentang Dia. Bila seorang hamba meyakini bahwa Allah akan memberinya kecelakaan atau hal negatif, maka boleh jadi Allah akan menuruti pikiran pesimis itu. Sebaliknya bila seorang hamba yakin bahwa Allah akan memberinya kesuksesan dan keselamatan, maka besar kemungkinan Allah akan menuruti harapan positif itu. Wallahu a’lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember