Syariah

Istinja: Pengertian, Hukum, dan Tata Caranya

Kam, 26 Agustus 2021 | 23:00 WIB

Istinja: Pengertian, Hukum, dan Tata Caranya

Ulama sepakat bahwa hukum istinja dari sisa kotoran yang menempel setelah buang hajat adalah wajib.

Istinja yang sering dipahami sebagai perbuatan membersihkan kubul atau dubur, dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata najâ yanjû, yang berarti memotong atau melepas diri (qatha‘a). Orang istinja artinya orang sedang berupaya melepas dirinya dari kotoran yang menempel di anggota tubuhnya. Adapun istinja dalam terminologi syariat adalah membersihkan sesuatu yang keluar dari kemaluan, kubul ataupun dubur, menggunakan air atau batu yang terikat beberapa syarat tertentu. (Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, at-Tausyîh ‘alâ Ibni Qasim, [Surabaya, Nurul Huda], halaman 19).


Hukum dan Alat Beristinja

Ulama sepakat bahwa hukum istinja dari sisa kotoran yang menempel setelah buang hajat adalah wajib. Bahkan, walau tak diwajibkan pun tabiat setiap orang pasti mendorong melakukannya. Karena tabiat yang sehat tentu risih dan terganggu dengan kotoran yang ada pada dirinya. Allah berfirman:


فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ (التوبة: 108)


Artinya, “Di dalam masjid itu terdapat penduduk Quba yang bersuci dan membersihkan dirinya, Allah sangat cinta kepada hamba-Nya yang bersuci.” (QS at-Taubah: 108)


Di ayat ini secara tegas Allah menyatakan cintanya kepada siapa saja yang mencintai kebersihan dan kesucian. 

 


Alat istinja ada dua: (1) air; dan (2) batu atau benda lain yang memiliki kesamaan sifat dan fungsi dengannya, yaitu bukan benda cair, suci, berpotensi membersihkan najis yang melekat di kubul maupun dubur, dan bukan termasuk benda yang dimuliakan, seperti buku, roti, dan semisalnya. Di antara dalil air menjadi alat istinja adalah hadist riwayat Anas bin Malik ra meriwayatkan:


كَانَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عليه وسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلَامٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وعَنَزَةً فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)


Artinya, “Bilamana Rasulullah saw masuk ke kamar kecil untuk buang hajat, maka saya (Anas ra) dan seorang anak seusia saya membawakan wadah berisi air dan satu tombak pendek, lalu beliau istinja dengan air tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim). (Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulûghul Marâm dicetak bersama Ibânatul Ahkâm, [Dârul Fikr: 2012], juz I, halaman 113).


Adapun dalil kebolehan istinja dengan batu adalah hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:


أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ ولَمْ أَجِدْ ثَالِثًا. فَأَتَيْتُهُ بِرَوْثَةٍ، فَأَخَذَهُمَا وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: إِنَّهَا رِجْسٌ


Artinya, “Suatu ketika ketika Nabi saw buang air besar, lalu memerintahkan saya agar membawakannya tiga batu. Kebetulan, waktu itu saya hanya menemukan dua batu dan tidak menemukan satu batu lagi. Lalu saya mengambil kotoran binatang (yang sudah kering). Akhirnya, beliau pun mengambil kedua batu tersebut dan membuang kotoran binatang yang saya berikan. Bersabda, ‘Sesungguhnya kotoran binatang itu najis’.” (HR al-Bukhari). (Al-Asqalani, Bulûghul Marâm, juz I, halaman 122). 


Dalam riwayat Imam Ahmad dan ad-Daraquthni, terdapat tambahan redaksi yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda, ‘I‘tini bi ghairiha’, atau ‘Carikan saya benda yang lain sebagai ganti dari kotoran tadi’. Artinya, batu yang digunakan bersuci tidak boleh kurang dari tiga, namun bisa lebih bila memang dibutuhkan.

 


Ketentuan Istinja

Dalam istinja, orang boleh memilih tiga cara; (1) istinja dengan batu terlebih dahulu lalu dengan air, dan ini cara terbaik; (2) istinja dengan air saja; dan (3) istinja dengan batu saja. Namun, jika dibandingkan antara pilihan kedua dan ketiga, lebih baik pilihan kedua, yaitu menggunakan air.


Ada beberapa ketentuan khusus yang harus dipenuhi ketika orang istinja dengan batu atau benda lain yang memiliki kesamaan fungsi dengannya. 

 

  1. Minimal menggunakan tiga batu, atau satu namun memiliki tiga sisi.
     
  2. Tiga batu tersebut dapat membersihkan tempat keluarnya kotoran, kubul atau dubur, sehingga bila belum bersih, maka harus ditambah.
     
  3. Tidak boleh ada tetesan air atau najis lain selain tinja dan kencing yang mengenai kubul dan dubur.
     
  4. Najis yang keluar saat buang hajat tidak boleh melewati shafhah (lingkaran batas dubur), atau melewati hasyafah (pucuk zakar).
     
  5. Najis yang dibersihkan bukan najis yang sudah kering.
     
  6. Najis yang keluar tidak berpindah ke anggota tubuh yang lain semisal selangkangan, paha, dan lain-lain.


Bila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas, maka mustanji atau seorang yang istinja harus menggunakan air, tidak boleh menggunakan batu atau yang serupa dan sefungsi. Semoga bermanfaat. Wallâhu a’lam bishshawâb.

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Pengajar di Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur.