Tasawuf/Akhlak

Orang Mukmin dan Orang Munafik: Antara Fakta dan Pencitraan

Ahad, 30 Agustus 2020 | 00:00 WIB

Orang Mukmin dan Orang Munafik: Antara Fakta dan Pencitraan

Kesan masyarakat terhadap seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan mutu keimanannya.

Terdapat perbedaan yang jelas antara orang mukmin dengan orang munafik. Prof Imam Suprayogo dari UIN Malang memberikan definisi orang mukmin adalah orang yang mempercayai adanya Tuhan, Hari Akhir, Malaikat, Rasul atau utusan-Nya, kitab-kitab Allah, serta qadha' dan qadar-Nya. Sedangkan orang munafik adalah orang yang tidak mampu menyelaraskan antara apa yang diucapkan dengan yang dijalaninya sendiri. (uin-malang.ac.id, 17 Desember 2015). 


Definisi orang mukmin sebagaimana dijelaskan di atas berhubungan dengan masalah keyakinan apakah seseorang meyakini rukun iman yang enam atau tidak, dan tidak terkait dengan perilaku. Sedangkan definsi orang munafik sebagaimana dijelaskan di atas berkenaan dengan perilaku apakah seorang konsisten antara ucapan dengan perbuatan atau tidak. Artinya kemunafikan itu tentang perilaku, sedangkan keimanan itu berkaitan dengan sesuatu yang diyakini. 


Definisi sebagaimana disampaikan Prof Imam Suprayogo di atas cukup membatu untuk memahami perbedaan lebih jauh antara orang mukmin dengan orang munafik sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam sebuah kitabnya. 


Orang Mukmin

Dalam kitab tersebut Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan tentang orang mukmin sebagai berikut:


خُبْرُ المؤمن التقيِّ خيرٌوأطيب من خَبرهِ و ذِكره، وإن كان خَبره و ذكره حسنًا طيباً. و كلما ازددتَ به معرفة وله خلطة و معاشرة ازددتَ له محبةً و تعظيماً، لما تعرفه وتراه في مخالطته ومعاشرته من إقباله على الله، وتعظيمه لأمر الله، ومسارعته في مرضاة الله، ومواظبنه على طاعة الله، ومجانبته ومباعدته لمعاصي الله وشدةِ تحفُّظه واحترازه عن مساخط الله.


Artinya: “Kenyataan orang mukmin yang bertakwa lebih baik daripada berita tentangnya dan dan lebih bersih daripada kesan yang ada dalam benak orang-orang betapa pun baiknya berita dan kesan orang itu mengenai dirinya. Setiap kali Anda mengenal lebih dekat dan lebih sering berinteraksi dengannya, maka semakin besar kecintaan dan penghormatan Anda kepadanya. Hal itu disebabkan sifat-sifat baik yang Anda saksikan dalam interaksinya dengan Anda diwarnai perjumpaan dirinya dengan Allah, pengagungannya terhadap perintah-Nya, kesegeraannya mencari ridha-Nya, ketekunannya dalam menaati-Nya, penjauhan dirinya dari segala kemaksiatan terhadap-Nya, kesungguhannya dalam menjaga diri dari kemurkaan-Nya.” (lihat Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 109)


Dari kutipan diatas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:


Pertama, fakta kebaikan orang mukmin yang benar-benar bertakwa kepada Allah menunjukkan intensitas yang lebih tinggi daripada berita-berita yang beredar di masyarakat. Seperti apa pun berita dan kesan masyarakat tentang kebaikan-kebaikan orang mukmin seperti ini, berita dan kesan seperti itu tidak bisa menggambarkan kebaikan yang sesungguhnya karena kenyataan kebaikannya jauh lebih baik daripada keduanya.     


Kedua, ketika Anda berkesempatan mengenal lebih dekat dengannya, maka kecintaan dan penghormatan Anda kepadanya semakin besar. Hal ini disebabkan kebaikan-kebaikannya ternyata jauh melebihi apa yang ada dalam pikiran Anda sebelumnya. Dengan kata lain Anda akan terkagum-kagum terhadap kebaikan-kebaikannya karena Anda menyaksikannya secara langsung dengan bergaul lebih dekat dengannya dan bukannya lewat berita-berita atau pikiran-pikiran Anda sendiri yang terbatas. 


Ketiga, kenyataan tersebut disebabkan sifat-sifat baik yang Anda saksikan secara langsung dalam interaksinya dengan Anda merupakan ekspresi kedekatan dirinya dengan Allah, pengagungannya terhadap perintah-Nya, kesegeraannya mencari ridha-Nya, ketekunannya dalam menaati-Nya, penjauhan dirinya dari segala kemaksiatan terhadap-Nya, dan kesungguhannya dalam menjaga diri dari kemurkaan-Nya. Artinya orang mukmin sepeti ini sesungguhnya adalah orang mukmin yang telah mencapai maqam makrifat kepada Allah.


Jadi orang mukmin yang bertakwa sesungguhnya dapat kita kenali kebaikan-kebaikannya dari ekspresi kedekatannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan bukan dengan kuatnya pencitraan baik melalui berita-berita dan opini-opini di media massa maupun lewat pengakuan-pengakuannya sendiri ataupun lewat cerita-cerita orang lain yang tidak ada bukti faktanya. 


Orang Munafik

Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan tentang orang munafik sebagai berikut:


و خُبْرُ المنافق الفاجر شرٌّ من خَبره وأخبث من ذكره. وإن كان خَبره و ذكره شراً وخبيثاً أيضاً. وكلما ازددْتَ به معرفةً وله مخالطةً ازددْتَ له بُغْضًا ومقتًا، لما تطَّلع عليه وتراه منه من التهاون بأمرالله، والمسارعة في مساخط الله، والتثاقل عن طاعة الله، وقلة المحافظة على فرائض الله.


Artinya: “Fakta orang munafik yang durhaka lebih buruk daripada berita tentangnya dan lebih keji daripada kesan yang ada dalam benak orang-orang betapa pun buruk dan kejinya kedua hal itu. Setiap kali Anda mengenal lebih dekat dan lebih sering berinteraksi dengannya, makin besar kebencian Anda padanya. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat buruknya serta perilakunya yang selalu mengabaikan perintah-perintah Allah, bersegeranya melakukan perbuatan-perbutan yang dimurkai-Nya, bermalas-malas dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya serta kurangnya perhatian terhadap hal-hal yang diwajibkan Allah kepadanya.” (lihat Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, Dar Al-Hawi, Cet. II, 1998, hal. 109)


Dari kutipan diatas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:


Pertama, fakta keburukan orang munafik yang durhaka kepada Allah menunjukkan intensitas yang lebih tinggi daripada berita-berita yang beredar di masyarakat mengenainya. Seperti apa pun berita dan kesan masyarakat tentang keburukan-keburukan orang munafik, berita dan kesan seperti itu tidak bisa menggambarkan keburukan yang sesungguhnya karena kenyataan keburukannya jauh lebih parah daripada keduanya.     


Kedua, ketika Anda berkesempatan mengenal lebih dekat dengannya, maka kebencian Anda kepadanya semakin besar. Hal ini disebabkan keburukan-keburukannya ternyata jauh melebihi apa yang ada dalam pikiran Anda sebelumnya. Dengan kata lain Anda akan kaget terhadap keburukan-keburukannya karena Anda menyaksikannya secara langsung dengan bergaul lebih dekat dengannya dan bukannya lewat berita-berita atau pikiran-pikiran Anda sendiri yang terbatas. 


Ketiga, kenyataan tersebut disebabkan sifat-sifat buruk yang Anda saksikan secara langsung dalam interaksinya dengan Anda merupakan ekspresi pengabaiannya terhadap perintah-perintah Allah, kesukaannya melakukan perbuatan-perbuatan yang dimurkai-Nya, bermalas-malasan dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya serta kurangnya perhatian terhadap hal-hal yang diwajibkan Allah kepadanya. Artinya orang munafik seperti ini sesungguhnya adalah orang yang mengaku beriman kepada Allah tetapi kenyataannya apa yang dia lakukan tidak mencerminkan adanya iman dalam dirinya. 


Jadi orang munafik yang durhaka sesungguhnya dapat kita kenali dari ekspresi pengabaiannya akan perintah-perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Ekspresi itu berkebalikan dengan berita-berita kebaikannya dan kesan masyarakat tentangnya disebkan kuatnya  pencitraan baik melalui berita-berita dan opini-opini di media massa maupun lewat pengakuan-pengakuannya sendiri ataupun lewat cerita-cerita orang lain yang tidak ada bukti faktanya. 


Kesimpulannya, fakta kebaikan seorang mukmin bisa dipercaya dan bahkan jauh lebih baik daripada berita-berita dan kesan orang-orang mengenai dirinya. Sedangkan fakta keburukan seorang munafik jauh lebih parah daripada berita-berita dan kesan orang-orang mengenai dirinya. Jadi jika seseorang dikesankan sebagai orang baik di masyarakat karena kuatnya pencitraan lewat berita-berita tentang ketakwaannya kepada Allah tetapi faktanya tidak demikian, maka itulah orang munafik yang membedakannya dengan orang beriman yang bertakwa. Dengan kata lain orang yang suka pencitraan untuk menutupi fakta keburukan yang sebenarnya, sesungguhnya adalah orang munafik. Na’udzubillahi min dzalik.
 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Univeritas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.