Presiden Xi Jinping Dituntut Mundur karena Kebijakan Lockdown, Bagaimana Hukum Islam Memandang?
NU Online · Jumat, 2 Desember 2022 | 16:41 WIB
Alhafiz Kurniawan
Penulis
Gelombang demonstrasi terjadi di Tiongkok. Masyarakat memprotes kebijakan lockdown yang diambil pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di negeri tersebut. Mereka menuntut Presiden Xi untuk mundur dari kursi kepresidenan.
Pemberhentian kepala negara di tengah jalan atau pemakzulan pernah dibahas secara fiqhiyah pada Muktamar Ke-33 NU, awal Agustus 2015 di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur.
Dalam kaitannya dengan agama, ulama bersepakat bahwa masyarakat wajib menaati pemimpin selama ia menjalankan amanatnya. Masyarakat juga tidak boleh memberhentikan pemimpin tanpa alasan yang dibenarkan.
Pemakzulan pemimpin baik presiden, gubenrnur, maupun bupati dikhawatirkan berpotensi menimbulkan masalah baru yang lebih besar, yaitu ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Tanpa alasan yang dibenarkan, pemakzulan pemimpin dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu sebagai celah untuk menciptakan instabilitas politik yang berdampak pada semua sektor.
Adapun forum Muktamar Ke-33 NU pada 2015 di Jombang memutuskan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata melanggar konstitusi.
Jika telah terbukti dan ditetapkan secara hukum melanggar konstitusi, maka pemimpin boleh dima’zulkan dengan cara:
a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri;
b. Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau bertobat, maka ia dapat dimakzulkan dengan aturan yang konstitusional selama tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar;
c. Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum melakukan hal-hal yang menyebabkannya dapat diberhentikan, maka proses tahapan pemberhentiannya harus berjalan sesuai dengan tahapan konstitusi yang ada.
Peserta forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang mengutip sejumlah kitab salah satunya Kitab Raudhatut Thalibin karya Imam An-Nawawi:
الرابعة: لا يجوز خلع الإمام بلا سبب، فلو خلعوه، لم ينخلع، ولو خلع الإمام نفسه، نظر، إن خلع لعجزه عن القيام بأمور المسلمين لهرم أو مرض ونحوهما، انعزل
Artinya: “Keempat tidak boleh memakzulkan pemimpin tanpa sebab. Kalau kelompok masyarakat mencoba memakzulkannya, maka kedudukannya sebagai pemimpin tetap sah, tidak termakzulkan. Tetapi kalau pemimpin mengundurkan diri, maka mesti dipertimbangkan, apakah pemakzulan dirinya berkaitan dengan ketidakmampuannya melaksanakan roda pemerintahan masyarakat sebab faktor lansia, sakit, atau selain keduanya, niscaya ia telah termakzulkan,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz VIII, halaman 369-370).
Dari penjelasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa demonstrasi di alam demokrasi merupakan tindakan konstitusional yang harus disikapi secara wajar apalagi aksi yang berjalan damai. Adapun tuntutan pemakzulan terhadap pemimpin tidak dibenarkan jika tidak ada nyata-nyata pelanggaran konstitusi. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
3
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
4
Gus Baha Ungkap Baca Lafadz Allah saat Takbiratul Ihram yang Bisa Jadikan Shalat Tak Sah
5
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
6
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
Terkini
Lihat Semua