Tafsir

Tafsir QS Az-Zumar 53: Mengenal Metode Dakwah Islam

Ahad, 18 April 2021 | 15:15 WIB

Tafsir QS Az-Zumar 53: Mengenal Metode Dakwah Islam

Ayat ini oleh Imam Fakhruddin ar-Razi disematkan sebagai ayat rahmat dan kasih-sayang Tuhan. Dalam ayat ini Allah ﷻ sedang menyeru para pendosa dengan seruan sayang.

Kejayaan Islam yang kita rasakan hari ini adalah buah keringat dan tetesan darah para pejuang masa lalu, sang baginda Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Agama Islam yang telah tersiar ke seluruh penjuru dunia merupakan sebuah hasil dari perjuangan yang tidak kecil. Di balik itu semua, ada darah yang ditumpahkan, ada harta benda yang dikorbankan, keluarga kinasih yang dinomorduakan, tanah kelahiran yang ditinggalkan, dan nyawa yang dipertaruhkan. Sungguh, bukan hal remeh.


Dengan prestasi serta kejayaan yang telah diperoleh Islam, tentu menyimpan rahasia agung di dalamnya. Ibarat kata, di balik sajian kuliner yang lezat dan nikmat, terdapat resep rahasia yang tak receh, juga master chef yang profesional. Dan, kejayaan Islam menyimpan begitu banyak rahasia. Di antaranya, Islam sangat menekankan metode dakwahnya dengan pendekatan tadarruj atau tadrîjiy (periodik atau bertahap). Sampai-sampai Syekh Ibrahim bin Abdillah al-Muthlaq menulis sebuah kitab yang berjudul at-Tadarruj fi Da’watin Nabi


Dalam kitabnya tersebut (hal. 17), Syekh Ibrahim al-Muthlaq pertama-tama menjelaskan definisi tadarruj. Ia mengatakan:


هو التقدم بالمدعو شيئًا فشيئًا للبلوغ به إلى غاية ما طلب منه وَفْقَ طرق مشروعة مخصوصة 


Artinya, “Tadrruj adalah bergerak mendekati orang yang hendak diajak sedikit demi sedikit, sehingga nantinya bisa ditarik masuk ke dalam misi besar ajakan tersebut, yang senapas dengan jalur-jalur tertentu yang dilegalkan syariat.”


Setelah mengetahui salah satu faktor dan rahasia kejayaan Islam, lalu pertanyaannya, bagaimanakah pengaruh dakwah tadrîjiy ini terhadap perkembangan dan kejayaan Islam tersebut? Sebelum menjawab ini, baik kiranya kita menyimak terlebih dahulu firman Allah ﷻ dalam surah az-Zumar ayat 53, yang berbunyi:


قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ 


Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Ayat di atas, oleh imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib-nya (juz 27, hal. 4) disematkan sebagai ayat rahmat dan kasih-sayang Tuhan kepada sekalian hamba-Nya. Tak pandang ia adalah hamba yang taat atau pendosa. Dalam ayat ini Allah ﷻ sedang menyeru para pendosa dengan seruan sayang. Dia memanggilnya dengan bahasa, Yâ ‘Ibâdiyalladzîna Asrafû, ‘Wahai hamba-hambaku yang telah terlanjur berdosa’, lalu melanjutkannya dengan memberi motivasi untuk tidak sekali-kali berputus asa dari dekapan kasih sayang-Nya.


Dari sini dapat kita pahami bahwa cara Al-Qur’an mengajak umat Nabi Muhammad untuk mendekat (at-taqarrub ilallah), mula-mula dengan menebar kasih-sayang, cinta dan harapan kepada mereka. Tidak serta merta mengazab dan membombardirnya dengan siksa. Bila melihat ragam asbâbun nuzûl (latar belakang) turunnya ayat di atas—sebagaimana dalam Mafatihul Ghaib (juz 27, hal. 5) —akan semakin tampak spirit dan motif kasih-sayang ayat tersebut kepada umat manusia. Di antaranya, ada yang menyebutkan, ayat itu turun menjawab kegelisahan para penduduk Makkah yang mengadu kepada Rasulullah ﷺ tentang akankah dosa-dosa mereka diampuni, sementara mereka adalah para penyembah berhala, dan mantan para pembunuh berdarah dingin? Kemudian turunlah surah az-Zumar ayat 53 di atas.


Ada yang bilang, ayat tersebut turun menjawab kegalauan al-Wahsyi, sang pembunuh Sayyidina Hamzah, paman Nabi di perang Uhud. 


Juga dalam kitab Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm (juz 1, hal. 46) Syekh ‘Izzuddun bin Abdissalam menyebutkan, bahwa asbâbun nuzûl ayat itu berawal dari sekelompok pezina kelas kakap yang mendatangi Nabi dan mengeluhkan dosa-dosa yang menurut mereka tidak mungkin untuk diampuni, sehingga turunlah ayat tersebut yang memotivasi mereka agar tak putus harap dari rahmat Allah ﷻ. 


Logikanya, bila mereka yang mengadu kepada Nabi dengan penuh sesal atas dosa dan kedurhakaan mereka di masa lalu akan dijawab menggunakan nada-nada ancaman dan kemurkaan, tentu reputasi Islam di masa awal akan hancur. Mereka pasti akan lari meninggalkan Islam dan tak akan pernah kembali lagi. 


Termasuk beberapa contoh legalisasi hukum yang harus tertunda karena mempertimbangkan dan memprioritaskan motif kasih-sayang yang terejawantahkan dalam metode dakwah tadrîjiy ini, yaitu seperti kewajiban shalat. Legalisasi shalat-sebagaimana yang kita tahu-harus tertunda sampai malam Isra’ Mi’raj, sepuluh tahun tiga bulan dari kenabian. Kalau saja di awal Islam langsung disyariatkan, tentu para sahabat waktu itu akan enggan memeluk agama Islam, lantaran berat beban shalat yang harus mereka pikul.


Contoh lain, seperti legalisasi kewajiban zakat dan puasa yang diturunkan pada tahun kedua Hijriah, tepatnya 12 tahun setelah kenabian. Demikian halnya jihad, menurut imam asy-Syairazi dalam kitabnya al-Amtsâl fî Tafsîri Kitâbillah al-Munazzal (juz 2, hal. 30), bahwa kewajiban berjihad fisik (qitâlî) disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Artinya, bila saja jihad fisik ini diwajibkan sejak permulaan Islam, tentu agama Islam yang kita saksikan sekarang hanya akan tinggal cerita, sebab akan dihabisi tanpa sisa oleh orang-orang kafir quraisy. Karena pasukan kaum muslimin waktu itu yang masih sangat sedikit. Jelas tidaklah sulit bagi mereka untuk sekadar mengubur ajaran Nabi Muhammad ﷺ.


Beberapa contoh lainnya dapat ditemukan dalam kitab Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm (juz 1, hal. 45-46) pada pembahasan ‘Fashlun fi Ijtimâ' al-Mashâlih al-Mujarradah ‘an al-Mafâsid’. Di sana, syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam mengurainya dengan cermat dan rinci. Semoga tulisan singkat ini mengandung banyak manfaat. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur; pengampu pengajian kitab Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, karya syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam.