Syariah

Upaya Pihak Anti-Maulid Mendistorsi Fatwa Ulama (I)

Sen, 19 November 2018 | 07:30 WIB

Telah maklum bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ diperbolehkan oleh para ulama dari berbagai mazhab dan dipraktikkan di berbagai penjuru dunia sejak pertama kali diselenggarakan secara besar-besaran oleh Raja Mudhaffaruddin Kokburi (dikenal juga sebagai Amir Gökböri), penguasa Irbil di abad keenam hijriah. Para ulama ahli hadits seperti Imam al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Sakhawi, Imam Al-Jazari, Imam As-Suyuthi dan begitu banyak imam lainnya secara tegas mengatakan bahwa peringatan maulid nabi adalah baik. Tentu saja semuanya sepakat bahwa kebaikan Maulid Nabi tak boleh dikotori dengan praktik-praktik yang melanggar syariat seperti adanya percampuran lelaki dan perempuan, adanya nyanyian yang membangkitkan syahwat, dan lain sebagainya yang jelas diharamkan oleh agama. 

Namun, selalu ada saja yang berusaha memutarbalikkan fakta seolah para ulama besar menolak peringatan Maulid Nabi. Di antara yang melakukan distorsi sejarah ini adalah pengarang kitab al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul. Kitab ini sengaja dikarang untuk membantah hujjah para ulama yang memperbolehkan maulid. Namun tentu saja tak semudah itu untuk melakukannya sebab para ulama besar nyata-nyata telah memperbolehkan peringatan maulid Nabi dan hanya segelintir orang saja yang tidak memperbolehkannya. Untuk menguatkan argumennya, maka pengarang kitab tersebut mendistorsi perkataan para Imam sehingga nampak seolah mereka melarang peringatan maulid, padahal sebenarnya tidak. Penipuan akademis ini misalnya tampak pada halaman 58 kitab itu tertulis yang artinya:

“Al-Hafidz Abu Zur’ah al-Iraqi ditanya tentang peringatan Maulid; Apakah disunatkan ataukah makruh dan apakah ada dalil tentang itu atau dilakukan oleh orang yang menjadi rujukan? Beliau berkata: Memberikan makanan disunnahkan setiap waktu maka bagaimana ketika bertepatan dengan kebahagiaan sebab munculnya cahaya kenabian di bulan yang mulia ini tetapi kami tidak mengetahui hal itu, yakni peringatan Maulid dengan memberikan makanan, dari kalangan salaf. Al-Hafidz Abu Fadhal ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam fatwanya tentang peringatan maulid yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husnu al-Maqshad Fî ‘Amal al-Maulid berkata: Dasar tindakan Maulid adalah bid'ah tidak dinukil dari seorang pun dari kalangan Salafus Shalih dari tiga abad pertama. Dan as-Sakhawi dalam fatwanya berkata: "Peringatan Maulid tidak dinukil dari salah satu pun Salafus Shalih di abad ketiga yang utama, hal itu hanya ada setelah itu. Syekh Nashiruddin al-Mubarok yang terkenal dengan Ibnu Thabbakh dalam fatwa dengan tulisannya sendiri berkata: Hal ini, peringatan Maulid, bukanlah termasuk dari sunah-sunah". Dan Syekh Dhahiruddun Jakfar at-Tazmanti berkata tentang peringatan Maulid:" tindakan ini tidak terjadi di masa awal dari kalangan Salafus Shalih beserta penghormatan dan kecintaan mereka terhadap Nabi Muhammad dengan penghormatan dan kecintaan yang salah satu dari mereka tidak bisa disaingi oleh seluruh kita sekarang, tak juga sedikit pun darinya. Dengan nukilan-nukilan ini menjadi jelas bahwa Salafus Shalih tidak merayakan Maulid Nabi tetapi mereka meninggalkannya. Dan mereka meninggalkannya tak mungkin kecuali karena hal itu tak ada kebaikannya.” (Isma’il bin Muhammad al-Anshari, al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul, halaman 58).

Dari pernyataan di atas, ada lima tokoh ulama yang dicatut dan dikesankan juga tak menyukai peringatan Maulid, yakni: Imam al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam as-Sakhawi, Syekh Ibnu Thabbakh dan Syekh at-Tazmanti as-Syafi’i yang serempak mengatakan bahwa peringatan ini tak ada di masa salaf. Benarkah demikian kejadiannya? Berikut ini pernyataan para imam di atas secara lengkap:

Imam al-Hafidz al-Iraqi, beliau berkata:

 إنَّ اتّخاذَ الوليمَةِ وإطعامَ الطّعامِ مُستحبٌّ في كلِّ وقتٍ فكيف إذا انضَمّ إلى ذلك الفرحُ والسُّرورُ بظُهور نور النّبِيّ صلى الله عليه وآله وسلَّم في هذا الشَّهْرِ الشَّريفِ. ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجبة) ـ 

“Memberikan makanan disunnahkan setiap waktu maka bagaimana ketika bertepatan dengan kebahagiaan sebab munculnya cahaya nabi di bulan yang mulia ini. Dan, statusnya sebagai bid’ah (hal baru) tidak musti menjadikannya tak disukai. Berapa banyak ada bid’ah yang disunnahkan bahkan kadang wajib.” (Muhammad Washiy ar-Rahman, ad-Durr al-Maknûn Fî al-Ihtifâl Bimaulidi an-Nabî al-Âmîn al-Ma’mûn, halaman 43).

Kalimat penegasan terakhir dari Imam al-‘Iraqi di atas sengaja dibuang. Dari situ, jelas terlihat bahwa sebenarnya Imam al-‘Iraqi mengategorikan peringatan Maulid sebagai bid’ah mustahabbah (hal baru yang disunnahkan). Sudah maklum bahwa di kalangan mayoritas ulama empat mazhab, bid’ah (dalam arti hal baru) terbagi menjadi lima hukum, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Jadi, penyebutan mereka bahwa sesuatu tidak ada di masa Salafus Shalih belum tentu menunjukkan bahwa sesuatu itu haram sebab faktanya banyak hal yang tidak ada di masa lalu tetapi nyata-nyata baik dan mempunyai dalil secara umum sehingga dikategorikan sebagai kebaikan, bahkan kewajiban oleh para ulama.


Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.

Bersambung...