Syariah

Seberapa Banyak Pekurban Boleh Mengonsumsi Daging Kurbannya?

Kam, 16 Juli 2020 | 14:30 WIB

Seberapa Banyak Pekurban Boleh Mengonsumsi Daging Kurbannya?

Kurban wajib dan kurban sunnah memiliki konsekuensi hukum berbeda berkenaan dengan distribusi daging.

Masyarakat Muslim umumnya menyambut hari raya Idul Adha dengan gembira, terutama mereka yang hendak berkurban. Hanya saja, antusiasme ini mesti dibarengi dengan pengetahuan yang cukup soal aturan berkurban dalam Islam, mulai dari kriteria hewan, prosesi penyembelihan, hingga pengelolaan daging.

 

Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah mengenai pendistribusian daging kurban. Di antara yang kerap menjadi pertanyaan pekurban: bolehkah bagi orang yang berkurban untuk mengambil jatah dari daging hewan kurbannya untuk dikonsumsi? Jika boleh, berapakah kadar yang boleh serta dianjurkan untuk dikonsumsi oleh orang yang berkurban?

 

Mengenai pertanyaan tersebut, terdapat firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berkaitan dengan pembahasan di atas:

 

فَكُلُوا مِنْها وَأَطْعِمُوا الْقانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذلِكَ سَخَّرْناها لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan pada orang yang meminta-minta. Demikianlah kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur” (QS. Al-Haj, Ayat: 36)

 

Berdasarkan ayat tersebut, mengonsumsi daging kurban adalah sebuah perintah bagi orang yang berkurban. Para ulama memaknai redaksi perintah di sini sebagai anjuran, bukan kewajiban. Maka sunnah bagi orang yang berkurban untuk memakan daging hewan kurbannya dengan tujuan untuk mengharap berkah (tabarruk). Kesunnahan mengonsumsi daging hewan kurban miliknya ini hanya satu-dua suapan saja, sekiranya tidak sampai melebihi tiga suapan. Selebihnya, disedekahkan pada orang lain, baik pada fakir miskin ataupun pada orang yang berkecukupan. Dalam kitab Fath al-Mu’in dijelaskan:

 

ويجب التصدق ولو على فقير واحد بشيء نيئا ولو يسيرا من المتطوع بها والأفضل: التصدق بكله إلا لقما يتبرك بأكلها وأن تكون من الكبد وأن لا يأكل فوق ثلاث

“Wajib menyedekahkan kurban sunnah, meskipun hanya pada satu orang fakir, dengan daging yang mentah, meskipun hanya sedikit. Hal yang lebih utama adalah menyedekahkan keseluruhan daging kurban kecuali satu suapan dengan niatan mengharap berkah dengan mengonsumsi daging tersebut. Hendaknya daging tersebut dari bagian hati. Hendaknya orang yang berkurban tidak mengonsumsi lebih dari tiga suapan.”

 

Di samping itu, sebenarnya tidak ada batasan khusus tentang legalitas mengambil bagian dari hewan kurban atas nama pribadi, sekiranya sudah ada bagian daging (meski hanya sedikit, seperti satu kantong plastik) yang disedekahkan pada satu orang fakir saja, maka kurbannya sudah dianggap cukup. Sebab tujuan pelaksanaan kurban adalah menyembelih hewan (iraqah ad-dam) besertaan wujud belas kasih pada fakir miskin. Berbeda halnya dengan zakat yang tujuannya adalah memberi kecukupan pada orang yang berhak menerima zakat (ighna’ al-mustahiqqin) maka harus diberikan seluruh jatah zakat yang wajib.

  

Berdasarkan hal ini, tidak heran jika sebagian ulama mazhab asy-Syafi’i memperbolehkan mengonsumsi seluruh daging hewan kurban atas nama dirinya, sebab sudah memenuhi tujuan kurban yang berupa menyembelih hewan (iraqah ad-dam). Dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra dijelaskan:

 

وَالْقَصْدُ مِنْ التَّضْحِيَةِ إرَاقَةُ الدَّمِ مَعَ إرْفَاقِ الْمَسَاكِينِ بِأَدْنَى جُزْءٍ مِنْهَا غَيْرِ تَافِهٍ وَقَدْ حَصَلَ هَذَا الْمَقْصُودُ فَلَا وَجْهَ لِلضَّمَانِ عَلَى أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَكَابِرِ أَصْحَابِنَا كَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ وَأَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ الْقَاصِّ وَالْإِصْطَخْرِيِّ وَابْنِ الْوَكِيلِ قَالُوا إنَّهُ يَجُوزُ لَهُ أَكْلُ الْجَمِيعِ وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ التَّصَدُّقُ بِشَيْءٍ مِنْهَا.

وَنَقَلَهُ ابْنُ الْقَاصِّ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ لِأَنَّ الْقَصْدَ بِالتَّضْحِيَةِ أَتَمَّ. اهـ. وَالتَّقَرُّبُ بِإِرَاقَةِ الدَّمِ فَحَسْبُ

“Tujuan dari kurban adalah mengalirkan darah hewan besertaan wujud belas kasih pada orang-orang miskin dengan (memberikan) bagian minimal dari hewan kurban yang tidak signifikan. Maksud tujuan ini sudah terpenuhi, maka tidak perlu adanya wujud ganti rugi. Bahkan sebagian golongan dari pembesar ashab syafi’I, seperti Abi al-‘Abbas bin Suraij, Abi al-Abbas bin al-Qash, Ishtakhri dan Ibni al-Wakil berpandangan bahwa boleh mengonsumsi keseluruhan hewan kurban dan tidak wajib menyedekahkan satu pun dari hewan kurban.

 

Pendapat demikian dinukil dari nash Imam asy-Syafi’i, sebab tujuan dari kurban sudah sempurna, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mengalirkan darah kurban telah cukup” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 4, hal. 252)

 

Meski begitu, pendapat ini sebaiknya sebatas dijadikan catatan wawasan tentang kurban, sebab meski dapat diamalkan tapi akan menimbulkan kesan aneh dalam tradisi masyarakat kita, serta cenderung dianggap sebagai bentuk tasahul (mengentengkan syari’at dengan mengamalkan pendapat-pendapat yang ringan). Juga, bagaimana kita bisa meresapi makna "menyembelih nafsu kebinatangan" dalam ritual kurban bila seluruh daging yang kita kurbankan dikonsumsi sendiri? 

 

Ketentuan tentang legalitas serta anjuran mengonsumsi hewan kurban di atas hanya berlaku ketika kurban yang dimaksud adalah kurban sunnah. Berbeda halnya ketika kurban berupa kurban wajib, seperti kurban nazar, maka haram bagi orang yang berkurban mengonsumsi hewan kurbannya, meski hanya sedikit, dan wajib memberikan kesuluruhan daging kurban pada fakir miskin. Ketentuan ini seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha:

 

ويحرم الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.

 (قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها.

فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء.

“Haram mengonsumsi kurban dan hadiah yang wajib sebab nazar. Maksudnya, haram bagi orang yang berkurban dan berhadiah mengonsumsi daging kurban dan hadiah yang wajib sebab nazar. Maka wajib menyedekahkan seluruhnya, termasuk tanduk dan kuku hewan. Jika ia mengonsumsi sebagian dari hewan tersebut, maka wajib menggantinya dan diberikan pada orang fakir” (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 378).

 

Maka dapat disimpulkan bahwa boleh bagi orang yang berkurban sunnah untuk mengambil bagian dari hewan kurban atas nama dirinya, sebab pembagian yang wajib hanya sebatas kadar minimal daging yang memenuhi standar kelayakan, seperti satu kantong plastik misalnya. Sehingga, selebihnya berhak dikonsumsi atau disedekahkan pada orang lain.

 

Meski demikian, hal yang dianjurkan bagi pekurban adalah tidak mengambil bagian daging terlalu banyak, kecuali sebatas satu-dua suapan untuk mengharap berkah. Tidak lebih dari tiga suapan.

 

Untuk kurban wajib, tidak boleh bagi pekurban mengambil bagian dari hewan kurbannya, meski hanya sedikit. Jika sampai terlanjur mengambil bagian dari hewan kurban wajibnya, maka wajib baginya untuk mengganti kadar daging tersebut dan dibagikannya pada orang fakir.

 

Ketentuan di atas hanya berlaku bagi orang yang berkurban, berbeda halnya hukumnya bagi panitia atau orang yang dipasrahi oleh mudhahhi (orang yang berkurban), sebab bagi mereka memiliki konsekuensi hukum tersendiri mengenai mengambil jatah dari hewan kurban yang dipasrahkan pada mereka. Wallahu a’lam.

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Psantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
 


Baca juga artikel seputar kurban lainnya di Kumpulan Artikel tentang Ibadah Kurban