Syariah

Saatnya Move On dari Fiqih Sektarian di Tengah Perbedaan Hari Raya

Jum, 21 April 2023 | 05:00 WIB

Saatnya Move On dari Fiqih Sektarian di Tengah Perbedaan Hari Raya

Ilustrasi: bulan fase - kalender - hilal (freepik).

Isu perbedaan lebaran kembali mencuat. Tampaknya isu ini akan selalu dibahas dan menjadi gegeran rutin di setiap tahun. Pertanyaan kapan lebaran selalu berulang di tengah keragaman pandangan ormas, pondok pesantren dan lembaga lain dalam penentuan Idul Fitri 1 Syawal. Di era yang serba digital seperti hari ini, masyarakat sangat mudah mengakses beragam perbedaan ikhbar hari raya. Di grup WhatsApp misalnya, mereka disuguhkan informasi ikhtilaf penentuan hari raya bahkan lengkap dengan dalil-dalilnya.
 

Kementerian Agama Republik Indonesia telah mengumumkan secara resmi bahwa hari raya Idul Fitri tahun 1444 H jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023 M. Di saat yang bersamaan, sebagian ormas dan lembaga pendidikan telah mengumandangkan takbir Idul Fitri sebagai penanda berakhirnya bulan Ramadan untuk berhari di hari Jumat 21 April 2023. 
 

Pengumuman hasil Sidang Itsbat oleh Menteri Agama mungkin menjadi pilihan ideal mayoritas umat muslim di Indonesia sebagai rujukan menentukan hari raya, sebagaiman sikap Nahdatul Ulama, baik secara organisasi atau ketokohan, dan beberapa pesantren besar di Nusantara. Namun kita tidak bisa menafikan sebagian ormas dan lembaga yang berhari raya mengikuti keyakinan yang dianutnya berdasarkan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
 

Sikap menyelisihi hasil itsbat pemerintah ini terus menjadi perbincangan antara pro dan kontra. Penulis tidak akan mengurai argumen dan pedoman yang dipegang masing-masing, karena sudah banyak dibicarakan oleh banyak pakar perihal rukyah versus hisab, standar imkanur rukyah, hisab tahqiqi, hisab taqribi, batas minimal ketinggian hilal, elongasi hilal dan lain sebagainya. 
 

Penulis juga tidak sedang dalam posisi menolak himbauan berbagai ulama untuk mengikuti pemerintah dalam lebaran, sebagaimana yang kami singgung di atas sebagai pilihan ideal.
 

Sisi yang hendak dibidik adalah mindset masyarakat yang masih membawa semangat fiqih sektarian untuk menyudutkan pihak lain yang berbeda dengan kaidah “Hukmul hakim yarfa’ul khilaf”, hukum pemerintah dapat menghilangkan perbedaan. Kaidah fiqih ini diklaim sebagai landasan yuridis menyudutkan pendapat yang berhari raya menyelisihi pemerintah. Atau dalam bahasa simpelnya, mewajibkan berhari raya sesuai itsbat pemerintah.
 

Menurut penulis, pandangan tersebut tidak menemukan momentumnya hari ini karena beberapa alasan.
 

Pertama, pemerintah tidak mewajibkan masyarakat mengikuti hasil itsbat. Menteri Agama secara tegas mempersilahkan masyarakat berhari raya sesuai keyakinan masing-masing. Menag mendorong supaya masing-masing menghargai perbedaan ikhbar hari raya. Bahkan Menag menghimbau supaya semua masyarakat diberi hak yang sama dalam pemanfaatan fasilitas umum untuk pelaksanaan shalat Idul Fitri, baik yang berhari raya mengikuti pemerintah atau tidak.
 

Dari sudut ini, sulit digambarkan sisi ilzamiyyah (sifat mengikat) hasil keputusan itsbat pemerintah sehingga menjadi dalil kewajiban mengikuti hari raya pemerintah.
 

Kedua, kaidah tersebut tidak berlaku untuk urusan ibadah yang debatable. Menurut Syekh Abdul Hamid As-Syirwani, kaidah tersebut hanya berlaku dalam perkara khusus (amrin mu’ayyan) yang melibatkan dua pihak yang bersengketa. Misalnya seorang Qadhi memberi putusan dengan mazhab Syafi’i, padahal pihak yang bersengketa bermazhab Hanafi, maka keputusan Qadhi dengan mengambil mazhab Syafi’i mengikat kepada pihak yang bersengketa, meskipun berbeda mazhab.
 

Namun dalam urusan ibadah personal yang bersifat ijtihadi, keputusan pemerintah tidak mengikat bagi masyarakat, sebagaimana prinsip:
 

ليس للإمام حمل الناس على مذهبه

 

Artinya, “Tidak boleh bagi pemimpin mendorong paksa masyarakat mengikuti mazhabnya.” 
 

Syekh Abdul Hamid As-Syirwani mengatakan:
 

وَلَوْ أَمَرَ الْإِمَامُ بِالْمُبَادَرَةِ بِهَا أَوْ عَدَمِهَا فَالْقِيَاسُ وُجُوبُ امْتِثَالِهِ

 

Artinya “Apabila Imam (pemerintah) memerintahkan bersegara melakukan shalat Jumat atau tidak bersegara, menurut pola qiyas, wajib ditaati.”
 

 قَوْلُهُ: وَلَوْ أَمَرَ الْإِمَامُ بِالْمُبَادَرَةِ إلَخْ، كَأَنَّ الْمُرَادَ بِالْمُبَادَرَةِ فِعْلُهَا قَبْلَ الزَّوَالِ وَبِعَدَمِهَا تَأْخِيرُهَا إلَى وَقْتِ الْعَصْرِ كَمَا قَالَ بِكُلٍّ مِنْهُمَا بَعْضُ الْأَئِمَّةِ وَلَا بُعْدَ فِيهِ، وَإِنْ لَمْ يُقَلِّدْ الْمُصَلِّي الْقَائِلَ بِذَلِكَ لِمَا سَيَأْتِي أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَسَيَأْتِي فِي النِّكَاحِ فِي الْوَطْءِ فِي نِكَاحٍ بِغَيْرِ وَلِيٍّ مَا يُصَرِّحُ بِذَلِكَ وَظَاهِرٌ أَنَّ مِثْلَهُ فِيمَا ذُكِرَ كُلُّ مُخْتَلَفٍ فِيهِ كَفِعْلِهَا خَارِجَ خِطَّةٍ إلَّا بِنِيَّةٍ مَثَلًا وَيُحْتَمَلُ بَقَاءُ الْعِبَارَةِ عَلَى ظَاهِرِهَا مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْمُبَادَرَةِ فِعْلُهَا أَوَّلَ الْوَقْتِ وَبِعَدَمِهَا تَأْخِيرُهَا إلَى آخِرِ وَقْتِهَا بَصْرِيٌّ
 

Artinya “Ucapan Imam Ibnu Hajar, bila imam memerintah bergegas melakukan shalat Jumat dan seterusnya”, mungkin saja yang dikehendaki dengan bergegas adalah melakukan Jumatan sebelum tergelincirnya matahari, dan maksud tidak bergegas adalah mengakhirkannya sampai waktu Ashar, seperti pendapat sebagian ulama. Tafsir ini sama sekali tidak jauh dari kebenaran, meski mushalli atau orang yang shalat tidak taqlid kepada ulama yang berkata demikian. Hal ini karena keterangan yang akan datang bahwa keputusan hakim menghilangkan ikhtilaf secara lahir dan batin. Akan datang pula penjelasan dalam Bab Nikah perihal menyetubuhi perempuan dalam pernikahan tanpa wali, keterangan yang menegaskan kaidah tersebut. Yang jelas, ketentuan ini berlaku untuk setiap persoalan yang diperselisihkan ulama seperti pelaksanaan Jumatan di luar batas desa kecuali dengan niat. Kemungkinan lain, redaksi Syekh Ibnu Hajar diarahkan sesuai makna lahirahnya, yaitu bergegas adalah melakukan Jumatan di awal waktu, tidak bergegas adalah mengakhirkannya sampai akhir waktu. Keterangan dari Sayyid Umar Al-Bashri.”
 

وَقَوْلُهُ: وَلَا بُعْدَ فِيهِ إلَخْ فِيهِ وَقْفَةٌ ظَاهِرَةٌ فَإِنَّهُمْ صَرَّحُوا بِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ النَّاسَ إلَى مَذْهَبِهِ وَأَنْ يَتَعَرَّضَ بِأَوْقَاتِ صَلَوَاتِ النَّاسِ وَبِأَنَّهُ إنَّمَا يَجِبُ امْتِثَالُ أَمْرِ الْإِمَامِ بَاطِنًا إذَا أَمَرَ بِمُسْتَحَبٍّ أَوْ مُبَاحٍ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ فَكَيْفَ يَجِبُ بَاطِنًا امْتِثَالُ أَمْرِهِ بِتَقْدِيمِ الْجُمُعَةِ عَلَى وَقْتِ الظُّهْرِ أَوْ تَأْخِيرُهَا عَنْهُ الْحَرَامُ 
 

Artinya, “Ucapan Sayyid Umar Al-Bashri, dan tafsir ini sama sekali tidak jauh dari kebenaran dan seterusnya, ini adalah kejanggalan yang jelas, karena ulama menegaskan bahwa imam tidak boleh mengajak paksa masyarakat mengikuti mazhabnya dan tidak boleh mengintervensi waktu shalat mereka. Kewajiban mematuhi imam hanya dalam perintah melakukan perkara sunah atau perkara mubah yang mengandung maslahat umum. Bagaimana mungkin wajib mengikuti perintah imam secara batin dengan mendahulukan Jumat atas waktu zuhur atau mengakhirkannya dari waktu zhuhur yang hukumnya haram?”
 

وَقَوْلُهُ: لِمَا سَيَأْتِي أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ إلَخْ ظَاهِرُ الْمَنْعِ فَإِنَّ الْحُكْمَ الشَّرْعِيَّ مُعْتَبَرٌ فِي حَقِيقَتِهِ تَعَلُّقُهِ بِمُعَيَّنٍ وَمَا هُنَا لَيْسَ كَذَلِكَ بِخِلَافِ مَا يَأْتِي فِي النِّكَاحِ وَعَلَى فَرْضِ كَوْنِهِ حُكْمًا فَهُوَ حُكْمٌ فَاسِدٌ مُوجِبٌ لِلْمُحَرَّمِ لَا يَنْفُذُ بَاطِنًا فَتَعَيَّنَ حَمْلُ كَلَامِ الشَّارِحِ عَلَى ظَاهِرِهِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْمُبَادَرَةِ فِعْلُ الْجُمُعَةِ فِي أَوَّلِ وَقْتِ الظُّهْرِ وَبِعَدَمِهَا فِعْلُهَا فِي آخِرِهِ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ صَنِيعِ النِّهَايَةِ وَسَمِّ وَصَرِيحُ اقْتِصَارِ ع ش عَلَى هَذَا الْمُرَادِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
 

“Ucapan Syekh Sayyid Al-Bashri, hal ini karena keterangan yang akan datang bahwa keputusan hakim menghilangkan ikhtilaf dan seterusnya. Ucapan ini jelas tertolak, sebab hukum syariat dalam kaidah tersebut berkaitan dengan perkara tertentu, sementara persoalan ini bukan demikian. Berbeda dengan kasus dalam Bab Nikah. Andaipun disebut hukum, maka disebut hukum yang rusak, menetapkan keharaman yang berkonsekuensi tidak wajib ditaati secara batin. Karenanya, ucapan Imam Ibnu Hajar hanya bisa diarahkan sesuai makna lahirnya, yaitu bergegas Jumatan adalah melakukannya di awal waktu, dan maksud tidak bergegas adalah melakukannya di akhir waktu seperti ucapan lahirahnya redaksi kitab An-Nihayah. Syekh Ibnu Qasim dan Syekh Ali Syibramalisi meringkas hanya dalam penafsiran demikian. Wallahu a’lam.”  (Abdul Hamid As-Syirwani, Hasyiyah As-Syarwani, juz II, halaman 419).
 

Mendahuli Syekh As-Syirwani, Imam Al-Haramain menegaskan: 
 

فلا ينبغي أن يتعرض الامام الفقهاء الاسلام فيما يتنازعون فيه من تفاصيل الاحكام بل يقر كل امام ومتبعيه على مذهبهم ولا يصدهم عن مسلكهم ومطلبهم
 

Artinya “Maka tidak patut bagi pemerintah mengintervensi para pakar fiqih Islam dalam urusan ikhtilaf di antara mereka dari beberapa perincian hukum. Bahkan seharusnya pemerintah mengakui masing-masing ulama dan para pengikutnya sesuai mazhabnya, serta tidak mencegah mereka dari jalan dan pola pikirnya.” (Imam Al-Haramain, Al-Ghiyatsi, halaman 88).
 

Dalam perspektif Syekh Abul Hasan Ali bin Abdissalam yang bermazhab Maliki, putusan hakim yang mengikat dibatasi dalam urusan kemaslahatan duniawi seperti sengketa kepemilikan, wakaf dan lain-lain. Persoalan ibadah yang domainnya adalah kemaslahatan ukhrawi tidak masuk dalam wilayah putusannya, namun hanya dalam wilayah fatwa ulama. Ia menegaskan:
 

وبقيد المصلحة الدنيوية العبادات كتحريم السباع وطهارة الأواني والمياه، ونحو ذلك مما اختلف فيه أهل الاجتهاد لا للدنيا بل للآخرة، فهذه تدخلها الفتوى فقط إذ ليس للحاكم أن يحكم بأن هذه الصلاة صحيحة أو باطلة بخلاف المنازعة في الأملاك والأوقاف والرهون، ونحوها مما اختلف فيها لمصلحة الدنيا

 

Artinya “Dan dengan qayid “kemaslahatan duniawi”, hal ini mengecualikan ibadah, seperti keharaman binatang buas, kesucian bejana dan air, serta persoalan lain yang diikhtilafkan oleh ulama ahli ijtihad, bukan untuk kemaslahatan duniawi. Namun karena kemaslahatan ukhrawi, hal-hal demikian hanya dapat dimasuki oleh fatwa ulama. Karena hakim tidak bisa menghukumi bahwa shalat ini sah atau batal. Berbeda dengan sengketa dalam hak milik, barang wakaf, barang gadaian dan lain-lain yang diperselisihkan untuk kemaslahatan duniawi.” (Abul Hasan Ali bin Abdissalam At-Tashuli Al-Maliki, Al-Bahjah fi Syarhit Tuhfah, juz I, halaman 32).
 

Tidak logis bila ada fatwa yang mewajibkan berhari raya di hari Sabtu 22 April 2023 kepada pihak yang meyakini Idul Fitri jatuh pada hari Jumat 21 April 2023. Bagaimana mungkin orang dipaksa berpuasa di hari yang ia yakini sebagai Idul Fitri?
 

Ketiga, realitas kebhinekaan di Indonesia. Negara memiliki komitmen menjaga kebhinekaan di tengah keragaman. Jangankan perbedaan rukyah dan hisab, perbedaan agama saja dilindungi oleh Negara. Komitmen tersebut mendapat legalitas syar’i
 

Hubungan muslim-non muslim sudah tuntas dibahas dalam forum-forum nasional maupun internasional di kalangan NU, yang kesimpulannya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata Negara. Masing-masing wajib dilindungi dan dihormati hak beribadahnya.
 

Bila hal tersebut berkaitan dengan perbedaan agama, menjadi lebih utama bila sekedar ikhtilaf furu’ di antara kaum muslim. Ide memaksa masyarakat berhari raya dalam waktu yang sama tentu tidak sejalan dengan semangat kebhinekaan yang menjunjung tinggi aneka ragam perbedaan.
 

Menurut penulis, mindset yang tepat dalam menyikapi ikhtilaf penentuan hari raya adalah kaidah fiqih “La yunkarul mukhtalafu fihi, wa innama yunkarul mujma’u ‘alaihi”, tidak diingkari persoalan yang debatable, yang diingkari hanya persoalan yang disepakati keharamannya.
 

Dengan kaidah ini, kita tidak akan berlarut-larut menguras energi hanya untuk melakukan perdebatan yang tidak berkesudahan. Namun yang ditonjolkan adalah sisi pemakluman dan penghormatan kepada pendapat masing-masing.
 

Sudah saatnya move on dari sudut pandang fiqih sektarian. Hari ini perbedaan furu’iyah soal hari raya tidak perlu dipertajam lagi.
 

Secara fiqih, umat muslim diberi pilihan menentukan hari rayanya dengan salah satu dari tiga cara. Pertama, mengikuti itsbat pemerintah. Kedua, melihat hilal sendiri atau meyakini kebenaran orang yang melihatnya. Ketiga, berpijak kepada hisab atau mempercayai hasil hisabnya.
 

 

Ustadz Mohammad Mubasysyarum Bih, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Barat dan Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.