Syariah

Pandangan Fiqih soal Garansi Barang dalam Transaksi Jual Beli

NU Online  ·  Kamis, 20 September 2018 | 07:00 WIB

Dalam situasi pasar global, banyak produk dikeluarkan oleh pabrikan barang dan dipasarkan di pasaran umum. Semakin banyak produk yang dikeluarkan, semakin ketat persaingan antarsesama produsen. Apakah persaingan ini dibenarkan secara syara’? Tentu syariat membenarkannya selagi dalam koridor kebaikan dan kemaslahatan (QS Al-Maidah: 48). 

Karena adanya persaingan produsen berlomba-lomba untuk memanjakan konsumennya. Mulai dari produk yang dipasarkan hingga cara-cara pemasaran produk mulai banyak diambil inisiatif. Sebagai produsen, tentu hak produsen adalah mendapatkan keuntungan. Keuntungan didapat dengan banyaknya pembelian produk. Semakin banyak produk yang dibeli, semakin besar pula keuntungan yang didapat. Tidak peduli, sebesar apa pun laba yang didapatkan oleh produsen, asal produknya laku keras di pasaran, maka produsen akan memilih jalur itu. Kualitas, harga bersaing, up to date, sesuai dengan tren zaman, serta garansi barang, acap menghiasi ajang promosi produk. 

Suatu ketika penulis membeli bola lampu dengan merek tertentu. Kualitas lampu itu memang terbilang cukup dikenal di masyarakat. Yang mengherankan penulis, ada garansi yang berlaku untuk bola lampu itu. Disebutkan dalam kemasannya, lampu tersebut bergaransi 1 tahun. Cukup jelas dalam label kartu garansi, bahwa jika selama 1 tahun pemakaian, ternyata lampu tersebut putus sehingga tidak bisa digunakan lagi, maka pembeli bisa menukarkannya kembali ke toko tempat ia membeli dengan syarat membawa bola lampu sekaligus kemasan serta bukti garansinya. Yang menjadi pertanyaan penulis adalah apakah menukarkan bola lampu yang sudah digunakan tersebut termasuk yang dibenarkan oleh syari’at? Dan apakah putusnya bola lampu tersebut termasuk bagian dari cacatnya barang sehingga boleh bagi pembelinya untuk meminta kompensasi/ganti rugi?

Berhari-hari penulis mencari jawabannya. Secara tidak sengaja penulis membuka kitab Athmadu al-Ainain fi Ba’dli Ikhtilâfi al-Syaikhain, karya Syekh Abu Shabirin yang memiliki nama asli Ali bin Ahmad bin Sa’id, terbitan Al-Hidayah, halaman 124. Dalam kitab ini dijelaskan sebagai berikut:

مسألة - اشترى ثوبا بعشرة فلبسه مدة فنقصت قيمته إلى خمسة فظهر به العيب المسمى بالبر أو يقال العوار ونحوه مما يظهر في الثياب لاسيما الكتان فلا خيار إذ يمكن الإطلاع على العيب المذكوربالفرك ونحوه كما قاله أهل الخبرة, وقول من قال: إنه لايتوصل إلى معرفة العيب المذكور إلا باللبس لايوافق عليه, بخلاف ثوب مطوي صححنا شراءه ولايمكن الإطلاع على عيبه إلا بنشره المنقص لقيمته فيرده ولو بعده بلا أرش وحيث امتنع الرد, فإن رضي به أحدهما بلا أرش فذاك وإلا فليضم المشتري أرش الحادث وهو اللبس إلى المبيع أو البائع أرش القديم فإن اتفقا على أحد هذين وإلا فالأصح إجابة طالب الإمساك والرجوع بأرش العيب القديم

Artinya: “Permasalahan. Ada seorang pembeli baju dengan harga 10 dirham, kemudian digunakannya selang beberapa waktu lamanya. Otomatis nilainya berkurang, kurang lebih 5 dirham. Lalu baru tampak adanya cacat yang dikenal sebagai al-burri atau biasa dikenal dengan al-‘uwaari dan semacamnya, yang baru bisa diketahui terdapat pada baju itu - apalagi al-kattan – maka tidak ada khiyar baginya  karena memungkinkannya bisa melihat cacat yang dimaksud setelah [mencucinya] dengan sikat dan semacamnya, sebagaimana cara ini dikatakan oleh para ahli kain.” 

Pendapat orang yang mengatakan “tidak ada sarana lain untuk mengetahui cacatnya barang selain memakainya terlebih dulu” dalam hal ini tidak bisa dibenarkan atasnya. Sebab, jual beli ini, berbeda  kondisinya dengan jual beli baju yang terlipat - yang telah kami nyatakan sah pembeliannya – yang tidak mungkin bisa melihat cacatnya baju tanpa membukanya terlebih dahulu, sehingga bisa menyebabkan berkurangnya nilai jualnya. Dalam hal ini pembeli bisa mengembalikan baju itu, meskipun sehabis dibuka, dengan tanpa kompensasi. Dan bila pembeli sekira menahan pengembalian, maka jika salah satu penjual dan pembeli ridlo dengan pengembalian tanpa adanya kompensasi, maka akad itu yang terjadi. Dan jika penjual tidak ridlo, maka pembeli memberikan kompensasi atas perkara baru yang terjadi, yaitu pemakaian barang dagangan. Atau sebaliknya, jika ada keridlaan, maka penjual memberikan kompensasi berupa harga lama. Hal ini terjadi jika keduanya bersepakat atas salah satu dari ketentuan ini. Dan bila tidak bersepakat, maka pendapat yang paling shahih adalah mengabulkan orang yang menuntut penahanan dan mengembalikan barang (pembeli) dengan kompensasi harga lama.” (Abu Shabirin Ali bin Ahmad bin Said, Athmadu al-Ainain fi Ba’dli Ikhtilâfi al-Syaikhain, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 124)

Ada beberapa hal menarik yang bisa digaris bawahi dari bunyi ibarat di atas, yaitu: 

• Saat pembelian, secara lahiriahnya, barang yang dijual kelihatan tidak memiliki cacat fisik

• Cacat baru bisa diketahui setelah selang beberapa waktu pemakaian

• Kondisi cacat merupakan ciri khas barang yang diakui oleh ahli khubrah, yaitu pakar barang serupa

• Bila mengetahuinya cacat barang adalah masih masuk dalam kerangka umum pendapat pendapat ahli tentang barang itu, maka khiyar pengembalian pembeli terhadap barang masih dibenarkan. Namun, bila cacat barang itu diketahui di luar batasan pendapat para ahli di bidangnya, maka klaim pembeli terhadap cacatnya barang boleh untuk ditolak oleh penjual. 

• Harus ada kesepakatan terlebih dahulu antara pembeli dan penjual menyangkut pengembalian barang disebabkan adanya cacat. 

Mengembalikan barang yang baru diketahui cacatnya di kemudian hari merupakan istilah lain dari garansi dewasa ini. Dengan mencermati pendapat Syekh Ali bin Ahmad bin Said di atas, maka kita bisa ambil jalan qiyas untuk pembelian bola lampu dengan paket garansi yang disertakannya. Tentu saja dalam hal ini ada ketetapan syarat yang harus disertakan oleh penjual. Bila penjual menetapkan syarat bahwa barang tidak bisa dikembalikan setelah jangka waktu tertentu, maka pihak pembeli tidak bisa memaksakan diri untuk pengembaliannya. Karena syarat yang dimaksud oleh penjual adalah merupakan bagian dari manfaat yang dijanjikan atas barang dan hak pembeli adalah bisa menerima manfaat tersebut. 

Walhasil, garansi adalah bagian dari inovasi jual beli yang dibenarkan secara syariat. Kedudukan garansi adalah sama dengan akad jual beli barang cacat, yang mana pihak penjual memiliki kewajiban memberikan kompensasi kepada pembeli bila barang tidak memiliki kualitas sebagaimana tertera. Bentuk kompensasi bisa diganti dengan barang baru yang sejenis atau mengembalikan harga beli sesuai harga lama barang. Setiap pihak yang melakukan jual beli dengan adanya garansi adalah wajib menepati syarat yang dijanjikannya. Yang diwajibkan atas syarat, adalah kejelasan ketentuan yang dimuat dalam syarat. Bila disyaratkan batas waktu pemakaian adalah 1 tahun, maka lebih dari waktu 1 tahun, adalah tidak dibenarkan dalam syariat. 

المؤمنون على شروطهم

Artinya: “Orang mukmin adalah bergantung pada syarat yang dijanjikannya.”

Wallahu a’lam bish shawab


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim