Syariah

Kriteria Cakap Finansial Perspektif Fiqih Muamalah

NU Online  ·  Ahad, 24 November 2024 | 17:00 WIB

Kriteria Cakap Finansial Perspektif Fiqih Muamalah

Hak kelola keuanganindividu perspektif Fiqih Muamalah (freepik).

Struktur paling inti dalam sebuah transaksi adalah pelaku akad, karena ia memegang peran yang sangat krusial. Keabsahan dan keberhasilan sebuah transaksi tidak hanya ditentukan pada objek dalam transaksi, tetapi juga pada kelayakan pelaku transaksi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat dapat menjalankan hak dan kewajibannya tanpa menimbulkan kerugian atau sengketa di kemudian hari.
 

Dalam mazhab Syafi’i, suatu transaksi harus dijalankan oleh orang yang bisa mengelola hartanya sendiri atau disebut dengan mutlaqut tasharruf. Yaitu orang bebas membelanjakan hartanya tanpa terikat dengan batasan-batasan tertentu, baik tasaruf maslahah atau tidak, dan tasaruf komersial (mu'awadhah) atau nonkomersial (tabarru'). Istilah lain dari mutlaqut tasharruf adalah ahlu tabarru'.
 

Karena itu, orang yang berstatus mutlaqut tasharruf sah membelanjakan hartanya secara tidak maslahat, seperti menjual di bawah harga standar atau membelanjakan hartanya secara gratis atau nonkomersial seperti hibah, sedekah, dan wakaf.
 

Penjelasan di atas sebagaimana disampaikan Imam Al-Qalyubi:
 

قوله (مطلق التصرف) أي غير مقيد بتصرف دون آخر ولا بحال دون آخر فهو مساو لقولهم: أهل تبرع
 

Artinya, “Ungkapan Al-Mahalli: 'Mutlaqut tasharruf', maksudnya tidak terbatasi dengan satu tasaruf dan satu kondisi. Mutlaqut tasharruf sama dengan perkataan ulama yaitu ahlu tabarru'.” (Hasyiatul Qalyubi, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz II, halaman 326).
 

 

Kriteria Mutlaqut Tasharruf

Kriteria orang bisa mengelola hartanya sendiri atau mutlaqut tasharruf adalah harus mencapai usia baligh, berakal, dan memiliki kecakapan secara finansial dan agama (ghairu mahjur 'alaih). Kriteria ini berlaku dalam banyak transaksi muamalah, salah satunya dalam akad iqrar. Imam Al-Qalyubi:
 

يصح من مطلق التصرف) أي البالغ العاقل غير المحجور عليه
 

Artinya, “Akad iqrar sah dari orang yang mutlak tasharruf, yaitu baligh, berakal, dan tidak ditangguhkan dalam mengelola harta (tidak mahjur alaih).” (Al-Qalyubi, III/ 3).
 

Dari kriteria ini, maka orang yang tidak bisa mengelola hartanya sendiri adalah anak kecil, orang gila, dan orang yang dibekukan tasarufnya karena safih atau tidak cakap secara finansial. Transaksi yang dilakukan oleh mereka hukumnya tidak sah.
 

Transaksi anak kecil dan orang gila dinyatakan tidak sah, karena ucapan dan kewenangan mereka tidak diakui oleh syariat. Begitu juga safih, tidak sah melakukan transaksi karena ucapannya dalam mengelola harta tidak diakui oleh syariat, sebab tidak memiliki kecakapan dalam hal mengelola harta.
 

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menjelaskan:
 

وتصرف) كل من (الصبي والمجنون والسفيه) في ماله (غير صحيح). أما الصبي فمسلوب العبارة والولاية إلا ما استثني من عبادة مميز، وإذن في دخول، وإيصال هدية من مميز مأمون. وأما المجنون فمسلوب العبارة من عبادة وغيرها، والولاية من ولاية نكاح وغيرها. وأما السفيه فمسلوب العبارة في التصرف المالي كبيع ولو بغبطة أو بإذن الولي
 

Artinya, “Tasaruf yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang tidak cakap dalam mengelola hartanya dianggap tidak sah. Anak kecil karena tidak memiliki kewenangan untuk berbicara atau bertindak (dalam urusan hukum dan keuangan), kecuali dalam hal tertentu, seperti menjalankan ibadah bagi anak yang sudah tamyiz, izin masuk rumah, atau menyampaikan hadiah dari anak mumayyiz yang dapat dipercaya.
 

Orang gila karena sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk berbicara atau bertindak, baik dalam urusan ibadah maupun lainnya. Dia juga tidak memiliki kewenangan dalam urusan perwalian, seperti pernikahan dan lainnya.
 

Orang safih karena tidak memiliki kewenangan dalam urusan keuangan, seperti menjual, bahkan jika transaksi tersebut menguntungkan atau dengan izin dari wali.” (Hasyiyatul Bujairimi, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz III, halaman 85).
 

Landasan anak kecil dan orang gila tidak memiliki kriteria ahli tasaruf adalah hadits Rasulullah saw:
 

رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ - أي يَبْلُغَ
 

Artinya, “Pena telah diangkat dari tiga orang, dari orang gila yang hilang akalnya sampai sembuh, dari orang tidur sampai terbangun, dan dari anak kecil sampai keluar sperma.” (HR Abu Dawud).
 

Sementara dalil yang melandasi syarat mengelola harta harus memiliki kecakapan (rusydu) secara finansial adalah firman Allah swt:
 

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ  فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْۚ
 

Artinya, “Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya.” (QS An-Nisa’: 6).
 

Melalui ayat ini, Allah swt memerintah para wali anak yatim untuk menguji kemampuan anak asuhnya dalam mengelola harta. Jika sudah tampak kematangan dalam mengelola harta, maka mereka boleh menyerahkan harta kepada anak asuhnya.
 

Hal ini menunjukkan bahwa kecakapan secara finansial menjadi syarat untuk diberi wewenang dalam mengelola harta. (Musthafa Al-Khin dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz VI, halaman 11).
 

Demikian penjelasan terkait kriteria orang dianggap sah mengelola harta sendiri dalam fiqih muamalah. Semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan mudah. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil, Bangkalan, Madura.