Syariah

8 Mahjur 'Alaih yang Ditangguhkan Tasaruf Hartanya dalam Fiqih Muamalah

Kamis, 21 November 2024 | 11:00 WIB

8 Mahjur 'Alaih yang Ditangguhkan Tasaruf Hartanya dalam Fiqih Muamalah

8 mahjur 'alaih yang ditangguhkan tasaruf hartanya (freepik).

Fondasi utama dalam menjalani kehidupan sehari-hari terletak pada kepatuhan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Syariat adalah panduan hidup yang menyeluruh, mengatur setiap aspek yang berhubungan dengan hubungan manusia. Ia menata hubungan manusia dengan Allah swt, dengan sesama makhluk, serta dengan dirinya sendiri.
 

Karena itu, setiap tindakan, ucapan, dan perbuatan manusia senantiasa berada dalam pengawasan dan penilaian hukum syariat, yang menempatkannya dalam salah satu dari lima kategori hukum taklifi, yaitu: wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram. Semua ini tidak hanya sebagai pedoman, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan dan kemaslahatan bersama, serta untuk memastikan bahwa setiap langkah yang ditempuh selaras dengan aturan Islam.
 

Termasuk dalam hal ini adalah keadaan orang terkadang dibatasi atau ditangguhkan dari menggunakan harta miliknya. Orang-orang yang dikenai penangguhan tidak boleh menggunakan hartanya dalam kondisi tertentu disebut sebagai mahjur 'alaih, yaitu istilah fiqih yang menjelaskan pembatasan kebebasan pengelolaan harta, baik untuk kemaslahatan untuk melindungi diri sendiri maupun orang lain dari potensi kerugian atau penyesalan.
 

 

Siapa Saja Mahjur 'Alaih?

Merujuk penjelasan Imam An-Nawawi (wafat 676 H), terdapat delapan orang yang dikenakan pembatasan atau penangguhan dalam hal hak-haknya yang berkaitan harta, dengan rincian yang berbeda berdasarkan tujuan dan kepentingannya. Pembatasan ini, secara umum, bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan mencegah kerugian, baik bagi individu itu sendiri maupun bagi masyarakat.
 

Delapan orang mahjur 'alaih tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, yaitu orang orang yang hak-haknya ditangguhkan karena kepentingan mereka sendiri, dan ini ada tiga golongan. Kedua, yaitu orang-orang yang ditangguhkan hak hartanya karena kepentingan orang lain, dan ini ada lima golongan. 

 

Mahjur 'Alaih untuk Kepentingan Sendiri

Tiga golongan pertama adalah mereka yang hak-haknya dibatasi untuk kepentingan diri mereka sendiri, yaitu:

  1. anak kecil (shabi), yang belum mencapai usia baligh dan tidak mampu mengelola harta atau mengambil keputusan secara bijaksana;
  2. orang gila (majnun), yaitu orang akalnya terganggu sehingga tidak mampu mengatur urusannya dengan benar; dan
  3. orang bodoh (safih), yaitu orang yang tidak bisa mengelola hartanya dengan baik, sehingga berpotensi merugikan dirinya sendiri.


 

Mahjur 'Alaih untuk Kepentingan Orang Lain

Adapun lima orang lainnya adalah orang-orang yang hak-haknya ditangguhkan demi kepentingan orang lain, yaitu:

  1. orang bangkrut (muflis), yaitu orang yang hartanya habis atau tidak mencukupi untuk membayar utang-utangnya, sehingga haknya dibatasi demi melindungi kepentingan para kreditor;
  2. orang sakit keras (maridh), demi kepentingan ahli warisnya;
  3. hamba sahaya (al-abdul qin), yaitu budak masih berada dalam kepemilikan tuannya dan tidak memiliki kebebasan untuk mengelola hartanya sendiri;
  4. budak yang sedang dalam proses pembebasan (mukatab), yaitu budak yang sedang dalam perjanjian untuk membeli kebebasannya, hak-haknya dibatasi demi kelancaran proses tersebut; dan
  5. orang murtad, yaitu orang yang meninggalkan agama Islam, hak-haknya dibatasi untuk menjaga kepentingan umat Islam dan hartanya menjadi harta fai’.
     

Penjelasan di atas sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad Najib Al-Muthi'i:
 

وَالْمَحْجُوْرُ عَلَيْهِمْ ثَمَانِيَةٌ، ثَلاَثَةٌ حُجِرَ عَلَيْهِمْ لِحَقِّ أَنْفُسِهِمْ وَخَمْسَةٌ حُجِرَ عَلَيْهِمْ لِحَقِّ غَيْرِهِمْ، فَالَّذِيْنَ حُجِرَ عَلَيْهِمْ لِحَقِّ أَنْفُسِهِمْ: الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُوْنُ وَالسَّفِيْهُ. وَالْمَحْجُوْرُ عَلَيْهِمْ لِحَقِّ غَيْرِهِمْ فَهُمُ الْمُفْلِسُ يُحْجَرُ عَلَيْهِ لِحَقِّ الْغُرَمَاءِ، وَالْمَرِيْضُ لِحَقِّ الْوَرَثَةِ، وَالْعَبْدُ الْقِنُّ. وَالْمُكَاتَبُ لِحَقِّ الْمُكَاتِبِ وَالْمُرْتَدُّ لِحَقِّ الْمُسْلِمِيْنَ
 

Artinya, “Orang-orang yang ditangguhkan (haknya) ada delapan. Tiga di antaranya ditangguhkan haknya demi kepentingan dirinya sendiri, dan lima di antaranya ditangguhkan demi kepentingan orang lain.
 

Adapun yang ditangguhkan haknya demi kepentingan dirinya sendiri adalah (1) anak kecil; (2) orang gila; dan (3) orang bodoh.
 

Adapun (lima) golongan yang ditangguhkan untuk kepentingan orang lain, yaitu: (1) orang bangkrut demi kepentingan kreditor; (2) orang sakit demi kepentingan ahli waris; (3) hamba sahaya; (4) budak mukatab demi kepentingan mukatib; dan (5) orang murtad demi kepentingan umat Islam.” (Takmilatul Majmu’, [Beirut, Darul Fikr, tt], jilid XIII, halaman 344).
 

Penangguhan-penangguhan di atas merupakan bagian dari prinsip-prinsip syariat Islam yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan, baik individual maupun sosial. Setiap golongan yang dikenakan penangguhan memiliki alasan yang mendalam, yaitu untuk menghindari kerugian atau ketidakadilan yang bisa timbul jika hak-hak mereka dikelola tanpa pertimbangan yang tepat dan benar.
 

 

Hukum Tasaruf Mahjur 'Alaih

Hukum tasaruf harta mahjur 'alih berbeda-beda sesuai kondisi dan kemampuan masing-masing. Tasaruf harta yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang bodoh (safih) hukumnya tidak sah, karena mereka tidak memiliki kemampuan penuh untuk bertindak dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam urusan hartanya.
 

Bagi orang yang bangkrut atau muflis, syariat Islam mengakui sahnya tasaruf harta mereka terkait utang, meskipun mereka tidak bisa mengelola hartanya dengan bebas. Utang tetap harus dipenuhi, sementara hak atas harta pribadi terbatas untuk kepentingan para kreditor.
 

Untuk orang yang sakit, jika kondisi sakitnya berat atau jika harta yang ditasarufkan melebihi dari sepertiga harta yang dimiliki, segala keputusan terkait harta tersebut memerlukan izin dari ahli waris. Artinya, keputusan tentang harta tidak bisa sepenuhnya dilakukan tanpa persetujuan ahli waris.
 

Sedangkan budak, meskipun dapat bertindak dalam kapasitasnya sendiri, tetap terikat pada kewajiban hukum yang berlaku. Tindakannya sah, namun kewajiban yang terkait harta tetap menjadi tanggung jawab majikannya sampai ia memperoleh kebebasan. Setelah merdeka, kewajiban terkait harta dan tindakannya menjadi tanggung jawabnya sendiri.
 

Penjelasan tersebut sebagaimana dicatat oleh Syekh Abu Syuja’:
 

وَتَصَرُّفُ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ وَالسَّفِيهِ غَيْرُ صَحِيحٍ، وَتَصَرُّفُ الْمُفْلِسِ يَصِحُّ فِي ذِمَّتِهِ دُونَ أَعْيَانِ مَالِهِ، وَتَصَرُّفُ الْمَرِيضِ فِيمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ مَوْقُوفٌ عَلَى إِجَازَةِ الْوَرَثَةِ مِنْ بَعْدِهِ، وَتَصَرُّفُ الْعَبْدِ يَكُونُ فِي ذِمَّتِهِ يَتْبَعُ بِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ
 

Artinya, “Tasaruf anak kecil, orang gila, dan orang bodoh hukumnya tidak sah. Sedangkan tasaruf orang bangkrut sah dalam tanggungannya, bukan dalam harta miliknya. Tasaruf orang sakit jika melebihi sepertiga hartanya bergantung pada izin ahli warisnya setelah kematiannya. Tasaruf budak menjadi tanggung jawab dirinya dan dituntut atasnya setelah ia dimerdekakan.” (Al-Ghayah wat Taqrib, [Mesir, Mathba’ah Al-Azhariyah: 1304), halaman 33).
 

Penangguhan penasarufan harta pada mahjur 'alaih merupakan bagian dari kebijaksanaan syariat Islam yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan individu dan sosial. Terdapat delapan golongan yang dikenakan penangguhan tasaruf harta, yang terbagi menjadi dua kategori: tiga golongan ditangguhkan demi kepentingan mereka sendiri, dan lima golongan lainnya ditangguhkan demi kepentingan orang lain. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.