Sunnatullah
Kolomnis
Setiap ketentuan dalam syariat Islam (fiqih) mengandung hikmah yang sangat penting kita ketahui bersama. Baik syariat itu berupa perintah, larangan, anjuran, maupun hal-hal yang mubah dalam Islam. Perintah misalnya, mengandung hikmah agar manusia menanamkan kedisiplinan dan ketaatan. Begitu juga larangan mengandung hikmah agar manusia menjauhi hal-hal yang tidak baik, sementara anjuran agar manusia terdorong untuk meraih kesempurnaan.
Termasuk dalam hal ini adalah penangguhan harta seseorang, atau orang yang terverifikasi sebagai mahjur alaih dalam Islam. Tentu di dalamnya mengandung hikmah mendalam yang sangat penting untuk kita ketahui bersama, agar kita semakin yakin bahwa keberadaan syariat Islam tidak hanya sebagai pengatur kehidupan manusia yang tabu, namun juga mengandung kebaikan yang sangat besar.
Sebagaimana jamak diketahui bersama dalam kitab-kitab fiqih muamalah, mahjur alaih adalah orang yang ditangguhkan hartanya karena beberapa faktor, misal anak kecil karena usianya belum baligh, orang tidak waras karena gangguan jiwa, dan orang gila karena memiliki gangguan akal. Disamakan dengan orang gila dalam konteks ini menurut Imam al-Qadhi Husain dalam kitab Asnal Mathalib fi Syarhi Raudlid Thalib, jilid II, halaman 206 adalah orang yang tidur dan orang bisu yang tidak memahami ucapan.
Beberapa faktor ini, maka tasaruf hartanya ditangguhkan untuk melindungi hak pribadi atau kemaslahatan masing-masing agar tidak timbul kerugian dan penyesalan dalam transaksi, disebabkan ketidakmampuannya untuk mengelola urusan secara baik dan benar. Hal ini sebagaimana dicatat oleh Sayyid Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, dalam kitabnya:
قِسْمٌ يُحْجَرُ عَلَيْهِمْ لِمَصْلَحَتِهِمْ، وَهُمُ الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُوْنُ وَالسَّفِيْهُ
Artinya: “Bagian yang ditangguhkan (hartanya) demi kemaslahatan haknya adalah anak kecil, orang gila, dan orang tidak waras.” (at-Taqrirat as-Sadidah fil Masailil Mufidah, [Darul Mirats an-Nabawi, tt], halaman 59).
Dengan demikian, maka hikmah utama dalam penetapan penangguhan bagi anak di bawah umur, orang gila, dan mereka yang tidak waras adalah untuk memberikan perlindungan terhadap individu tersebut agar penggunaan hartanya tidak merugikan dirinya sendiri akibat ketidakmampuannya dalam mengelola urusannya dengan baik. Tentu, hikmah yang lain adalah agar harta yang dimilikinya tetap terjaga dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhannya yang benar.
Selain tiga golongan ini, terdapat golongan lain yang juga ditangguhkan hartanya, namun tidak karena faktor kemaslahatan dirinya sendiri akan tetapi karena kemaslahatan orang lain. Misal di antaranya adalah orang bangkrut (muflis) yang ditangguhkan hartanya dengan tujuan untuk melindungi hak-hak para kreditor. Begitu juga orang yang sakit parah untuk melindungi hak-hak ahli warisnya, termasuk juga seorang budak sahaya yang masih dalam proses pembebasan (mukatab). Ia ditangguhkan hartanya agar tanggungan kepada pemiliknya (mukatib) bisa terlaksana.
قِسْمٌ يُحْجَرُ عَلَيْهِمْ لِمَصْلَحَةِ غَيْرِهِمْ، وَهُمُ الْمُفْلِسُ وَالرَّقِيْقُ وَالْمُرْتَدُّ وَالْمَرِيْضُ وَالرَّاهِنُ
Artinya: “Bagian yang ditangguhkan (hartanya) demi kemaslahatan orang lain adalah orang bangkrut, budak, murtad, orang sakit parah, dan orang yang menggadaikan.” (at-Taqrirat as-Sadidah, hal 59).
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Musthafa al-Khin, Syekh Musthafa al-Bugha, dan Syekh Ali as-Syarbaji. Dalam salah satu kitab kodifikasinya dijelaskan bahwa hikmah dari adanya hajr atau penangguhan harta seseorang adalah agar kemaslahatan benar-benar bisa didapatkan olehnya. Dengan kata lain, menggunakan harta atau membelanjakannya tidak lebih baik dari menahannya saat dalam keadaan mahjur alaih. Hikmah ini tertuju kepada anak kecil, orang gila, dan orang tidak waras.
Sedangkan hikmah ditangguhkannya harta orang yang bangkrut (muflis) adalah untuk melindungi hak-hak orang lain yang mungkin terlupakan dalam kesulitan yang menimpanya. Dalam kondisi kesulitan, sangat mungkin ia lalai terhadap kewajiban kepada pemilik hak (kreditor) dan bisa jadi mengelola sisa hartanya dengan cara yang merugikan mereka, bahkan menghalangi mereka mendapatkan hak-hak yang semestinya.
اَلْحِكْمَةُ مِنْ تَشْرِيْعِ الْحَجْرِ: اَلْحَجْرُ عَمَلٌ سَلبِيٌّ احْتِيَاطِيٌّ، يَسْتَهْدَفُ تَحْقِيْقُ مَصْلَحَةِ الْمَحْجُوْرِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ طِفْلاً أَوْ سَفِيْهاً أَوْ نَحْوِهِمَا. أَمَّا الْمُفْلِسُ الَّذِي تَرَاكَمَتْ عَلَيْهِ الدُّيُوْنُ، فَيَغْلِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَنَاسَى - فِي غَمْرَةِ الضِّيْقِ الَّذِيْ يَنْتَابُهُ - حُقُوْقَ الْآخَرِيْنَ، فَيَتَصَرَّفُ بِمَالِهِ الْبَاقِي عِنْدَهُ عَلىَ نَحْوٍ يُضِرُّ أَصْحَابَ الْحُقُوْقِ وَيُفَوِّتُ عَلَيْهِمْ حُقُوْقَهُمْ
Artinya: “Hikmah disyariatkannya hajr: Hajr (penangguhan harta) adalah langkah preventif yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang ditangguhkan hartanya (mahjur alaih), jika dia seorang anak kecil, orang tidak waras dan sesamanya. Adapun orang bangkrut yang memiliki tumpukan utang, seringkali ia lupa – dalam kondisi kesulitan yang menimpanya – terhadap hak-hak orang lain, sehingga ia akan mengelola sisa hartanya dengan cara yang merugikan pemilik hak dan menyia-nyiakan mereka dari hak-hak mereka.” (al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid VIII, halaman 249).
Lebih lanjut, Syekh Musthafa al-Khin juga menjelaskan bahwa ditangguhkannya harta anak kecil, orang gila dan yang sejenis dengan mereka, tidak berarti hilang status kepemilikan dan penguasaannya terhadap harta yang mereka miliki. Hanya saja, jika kepemilikan itu dibebaskan tanpa ada penangguhan dalam syariat Islam, ia akan menggunakannya tanpa kebijaksanaan yang matang dan kecerdasan yang baik dalam mengelola hartanya.
Oleh sebab itu, beberapa golongan yang telah disebutkan tidak selamanya ditangguhkan. Ia akan bebas menggunakan hartanya ketika sudah baligh, yaitu ketika sudah baligh dan pintar. Begitu juga orang gila, ia akan bebas menggunakan hartanya ketika sudah sembuh dari gilanya. Termasuk juga orang tidak waras, ia boleh menggunakan hartanya dengan bebas ketika sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya.
Sementara itu, hikmah di balik penangguhan harta bagi orang yang tengah menderita sakit parah adalah untuk memastikan bahwa harta yang ia miliki tetap terjaga dengan baik. Hal ini tidak hanya sebagai bentuk melindungi harta yang ia miliki, namun juga sebagai bentuk tanggung jawab dalam memastikan kesejahteraan keluarga, terutama anak-anak dan orang-orang yang merawatnya.
Penjelasan dari hikmah ini sebagaimana ditulis oleh Syekh Ahmad bin Ali al-Jurjawi, dalam kitabnya:
اَلْحَجْرُ عَلَيْهِ صَوْنًا لِأَمْوَالِهِ وَحِرْصًا عَلىَ أَرْزَاقِ أَوْلاَدِهِمْ وَمَنْ يَعُوْلُوْنَهُ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَمَاتِهِ
Artinya: “Penangguhan baginya (orang sakit parah) adalah untuk melindungi hartanya dan menjaga atas bagian anak-anaknya, dan orang-orang yang merawatnya baik semasa hidupnya atau setelah kematiannya.” (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, [Beirut: Darul Fikr, 1997], jilid II, halaman 170).
Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa hikmah dari adanya hajru atau penangguhan harta dalam fiqih muamalah adalah untuk menjaga kemaslahatan setiap golongan, baik kemaslahatan untuk dirinya sendiri, seperti anak kecil, orang gila dan orang tidak waras. Atau demi kemaslahatan orang lain seperti orang yang menderita sakit parah, orang yang bangkrut, budak, dan lainnya. Wallahu a’lam bis shawab.
Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turats Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Memanfaatkan Sisa Umur dengan Kebaikan
2
Indonesia Terlibat Uji Klinis Vaksin TBC M72, PDNU: Langkah Positif Atasi Gejala yang Berat
3
Khutbah Jumat: Pentingnya Menjaga Diri dari Hoaks
4
Mengurangi Kecelakaan di Jalan, Belajar dari Swedia
5
Khutbah Jumat: Mendahulukan Nafkah Keluarga sebelum Bersedekah kepada Orang Lain
6
Khutbah Jumat: Berbakti Kepada Orang Tua Sebelum Terlambat
Terkini
Lihat Semua