Shofiyatul Ummah
Kolomnis
Layaknya hidup pada umumnya, kehidupan rumah tangga tak luput dari ujian dan masalah. Masalah rumah tangga akan terasa semakin rumit jika terdapat intervensi pihak-pihak lain yang hakikatnya tidak dibutuhkan, atau dibutuhkan namun lebih dari kadar yang semestinya. Sebagai contoh yang sering terjadi adanya campur tangan pihak keluarga yang berlebihan. Seperti ipar ikut campur urusan rumah tangga saudaranya.
Campur tangan ipar pada faktanya seringkali bukannya berkontribusi positif, namun justru semakin memperumit hubungan rumah tangga orang lain. Bahkan bisa sampai ke titik perceraian. Memang, bisa jadi tujuan dan maksudnya baik, namun apakah sikap tersebut memang dapat dibenarkan? Lalu sejauh mana porsinya ia boleh ikut campur urusan rumah tangga saudaranya?
Orang yang Bertanggung Jawab Atas Kehidupan Orang Lain
Pada dasarnya orang yang Allah beri mandat untuk mendidik, melindungi, dan mengasihi anak-anaknya adalah orang tua. Hal ini terepresentasi dari kewajiban orang tua untuk memberi nafkah pada anak-anaknya, kewajiban mengajarkan akidah Islam bagi mereka, serta kewajiban untuk mendidik mereka dengan didikan yang sesuai dengan tuntunan syariat. Hanya saja kewajiban tersebut tidak berlangsung selamanya.
Setidaknya minimal kewajiban orang tua terhadap anak dapat berkurang saat anak tersebut menginjak usia baligh. Bagi seorang wanita, tanggung jawab orang tua akan benar-benar lepas darinya saat ia telah berkeluarga.
Baca Juga
Kajian Hadits: Ipar adalah Maut
Tugas pokok orang tua saat anaknya telah menikah tidak lagi memberikan perintah atau mengintervensi kehidupan anak, tugas orang tua berubah dalam bentuk sebatas memberikan nasihat dan dorongan positif bagi sang anak. Mengutip argumentasi yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Al-Ghazali:
ومن حقها على الوالدين تعليمها حسن المعاشرة، وآداب العشرة مع الزوج كما روي أن أسماء بن خارجة الفزاري قال لأبنته عند التزويج إنك خرجت من العش الذي فيه درجت فصرت إلى فراش لم تعرفيه، وقرين لم تألفيه، فكوني له أرضاً يكن لك سماء وكوني له مهاداً يكن لك عماداً وكوني له أمة يكن لك عبداً، لا تلحفي به فيقلاك ولا تباعدي عنه فينساك إن دنا منك فاقربي منه، وإن نأى فابعدي عنه
Artinya, “Di antara hak seorang wanita atas kedua orang tuanya adalah mengajarinya pergaulan yang baik, dan mengajari etika bergaul bersama suami sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sahabat Asma’ bin Kharijah Al-Fazari.
Ia berkata kepada anaknya ketika menikah: 'Sesungguhnya engkau telah keluar dari tempat di mana engkau tinggal menuju tempat yang tak pernah engkau ketahui, dan seorang sahabat yang tidak kamu kenal, maka jadilah kamu bumi maka ia (temanmu) akan menjadi langit bagimu, jadilah kamu dataran rendah maka ia akan menjadi tiang bagimu.
Jadilah kamu seorang budak perempuan maka ia akan menjadi budak pula untukmu, janganlah terlalu dekat dengannya sehingga ia mampu membunuhmu dan janganlah menjauh dari mereka sehingga mereka melupakanmu, jika ia mendekatimu maka dekatilah mereka, jika mereka menjauhimu maka jauhilah mereka.'” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumi Din, [Dar- Al-Minhaj, 2003], juz I, halaman 408).
Dengan begitu saat anak menikah kewajiban orang tua adalah mengingatkan dan mendorong anak agar mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, atau mendorong dan mengingatkan anak agar mampu memenuhi kewajiban sebagai suami yang baik.
Penjelasan di atas berkaitan erat dengan status anak yang telah lepas dari tanggung jawab orang tua dan tugas orang tua hanyalah memberi arahan, nasihat serta dukungan agar rumah tangga sang anak terjalin dengan baik sesuai dengan yang harapkan ajaran syariat.
Sejauh Mana Intervensi Pihak Lain Terhadap Rumah Tangga Seseorang?
Berkaca dari peranan orang tua, maka peranan pihak lain dalam rumah tangga seseorang pun hanya sebatas untuk membantu keluarga tersebut menjadi lebih baik, dan bukan pada sesuatu yang bersifat sangat privasi, atau memungkinkan terjadinya konflik baru. Dengan demikian perlu kiranya kita mengutip pandangan Al-Ghazali yang menyatakan:
ويجب على حاكم البلد -وكذا كل من له قدرة من وليها وغيره- مساعدته على ذلك والسعي في إرجاعها إزالة عن المنكر
Artinya, “Wajib bagi hakim sebuah daerah begitu juga setiap orang dari walinya atau orang lain yang mampu (mengembalikan anaknya pada ketaatan atas suami) untuk menolongnya atas hal tersebut dan bergegas untuk membuatnya kembali pulang sebagai upaya menghilangkan kemungkaran.” (Al-Ghazali, I/408).
Bahkan secara tegas Syaikh Muhammad Al-Khalili menyatakan bahwa bantuan yang bersifat motivasi, menasihati, dan dorongan seseorang untuk memperbaiki rumah tangganya adalah suatu yang wajib dilakukan oleh orang tua atau kerabat-kerabatnya yang lain, karena tindakan tersebut termasuk dalam upaya amar ma’ruf nahi mungkar. (Muhammad bin Muhammad Al-Khalili Al-Syafi’i, Kitab Fatawal Khalili 'ala Madzhabil Imam Al-Syafi’i, [Mishriyyah Qadimah], juz IV, halaman 75).
Dengan demikian kewajiban orang tua dan anggota keluarga lainnya untuk memberi nasihat dan mengupayakan agar seseorang tetap berada di jalan yang benar merupakan kewajiban untuk amar ma’ruf nahi mungkar yang sejatinya tidak hanya dibebankan pada seorang wali, namun juga pada setiap orang mukmin yang mengetahui setiap hal mungkar tersebut. Hal ini tentunya bukan dalam bentuk intervensi atas kehidupan dan permasalahan orang lain.
aitan dengan sikap intervensi tersebut, terdapat satu hadis spesifik yang menjelaskan tentang gambaran intervensi seseorang atas rumah tangga orang lain:
من خبب زوجة امرئ او مملوكه فليس منا رواه ابو داود
Artinya, “Barang siapa yang merusak istri seseorang atau budaknya maka tidak termasuk dari golonganku.” (HR. Abu Dawud)
Artinya, siapapun yang memberi pengaruh buruk untuk merusak rumah tangga seseorang, atau menjadi sebab rusaknya rumah tangga seseorang baik dengan ucapan atau sikap dianggap telah melakukan dosa besar. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir 'an Iqtirafil Kabair, [Darul Fikr, 2009), juz I, halaman 179).
Sebab itu, simpulan yang dapat kita petik dari uraian di atas adalah bahwa intervensi keluarga, yang di antaranya adalah ipar, atas rumah tangga orang lain tidak dapat dibenarkan apabila sampai pada titik yang tidak wajar dan dapat membuat permasalahan semakin rumit atau bahkan berujung pada perceraian. Sedangkan jika keluarga hadir hanya untuk menasihati dan mendorong untuk menyelesaikan masalah sesuai tuntunan syariat, maka hukumnya sangat dianjurkan bahkan bisa jadi wajib. Wallahu a’lamu bis Shawab
Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Ganding Sumenep
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
5
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
6
Inses dalam Islam: Dosa Terbesar Melebihi Zina, Dikecam Sejak Zaman Nabi Adam!
Terkini
Lihat Semua