Syariah

Hukum Tubektomi dalam Islam: Bolehkah Sterilisasi Permanen bagi Perempuan? Ini Penjelasan Ulama dan Fatwa NU

NU Online  ·  Senin, 12 Mei 2025 | 17:00 WIB

Hukum Tubektomi dalam Islam: Bolehkah Sterilisasi Permanen bagi Perempuan? Ini Penjelasan Ulama dan Fatwa NU

Hukum tubektomi atau sterilisasi permanen bagi perempuan

Masalah kontrasepsi dan pengaturan kelahiran merupakan isu yang penting dalam kehidupan berkeluarga, termasuk dalam konteks agama Islam. Salah satu metode yang sering dibahas adalah tubektomi, sebuah prosedur medis yang bersifat permanen untuk mencegah kehamilan dengan cara memutuskan atau menyumbat saluran tuba falopi pada wanita.
 

Meskipun tindakan ini dapat memberikan solusi efektif bagi mereka yang tidak ingin memiliki anak lagi, pertanyaan mengenai hukumnya dalam Islam tetap menjadi perdebatan. Karena itu, penting memahami perspektif hukum Islam terkait tubektomi, terutama dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam syariat, seperti tujuan pernikahan dan perlindungan terhadap fungsi reproduksi.
 

Apa Itu Tubektomi?

Tubektomi adalah sebuah tindakan medis berupa operasi sterilisasi permanen pada perempuan. Caranya, dokter akan memotong, mengikat, atau menyegel saluran tuba falopi, yaitu jalur yang biasanya dilalui sel telur dari indung telur menuju rahim. Dengan penutupan jalur ini, sperma tidak akan bisa bertemu dengan sel telur, sehingga kehamilan tidak bisa terjadi.
 

Tubektomi biasanya dilakukan oleh perempuan yang benar-benar yakin tidak ingin hamil lagi. Prosedurnya tergolong aman dan efektif, bahkan mendekati 100%. Namun karena sifatnya permanen, keputusan untuk melakukan tubektomi tidak bisa dianggap enteng. Harus ada pertimbangan yang matang dan diskusi terbuka dengan tenaga medis.
 

Hukum Tubektomi dalam Islam

Nahdlatul Ulama secara khusus membahas permasalahan tubektomi dalam Muktamar NU ke-28 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, pada 25–28 November 1989 M.
 

Dalam forum tersebut diputuskan bahwa penjarangan kelahiran melalui cara apa pun tidak diperkenankan jika sampai pada batas mematikan fungsi berketurunan secara mutlak.
 

Karena itu, sterilisasi yang diperbolehkan hanyalah yang bersifat sementara, yakni kemampuan berketurunan dapat dipulihkan kembali dan tidak merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang memiliki fungsi reproduksi.(Lajnah Ta’lif wan Nasyr PBNU, Ahkamul Fuqaha, halaman 447).
 

Keputusan ini menegaskan perbedaan antara upaya pencegahan kehamilan yang bersifat permanen dan yang bersifat sementara, dengan penekanan pada perlindungan terhadap fungsi dasar reproduksi. Pencegahan secara permanen hukumnya haram, sementara yang bersifat sementara masih diperbolehkan.
 

Referensi pokok dalam putusan tersebut diambil dari beberapa kitab mu’tabar, antara lain kitab Hasyiah Al-Bajuri sebagai berikut:
 

يُحرُم استعمال ما يَقطع الحَمل من أصله. أما ما يُبطئ الحَمل مدةً ولا يَقطعه فلا يُحرُم، بل إن كان لعذرٍ كَتربية وَلَدٍ لم يُكرَه، وإلا كُره
 

Artinya, “Haram mempergunakan sesuatu (seperti obat-obatan) yang dapat memutuskan kehamilan sama sekali (sehingga tidak bisa hamil kembali selamanya). Sedangkan yang hanya memperlambat kehamilan untuk sesuatu waktu dan tidak memutuskannya sama sekali, maka tidak haram dan bahkan tidak makruh jika karena sesuatu uzur, seperti ingin mendidik anak lebih dahulu. Jika tidak ada sesuatu alasan apapun, hukumnya makruh”. (Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiah Al-Bajuri, [Mesir, Darul Hadits: 2013], jilid II, halaman 93).
 

Senada dengan pendapat Al-Bajuri, Syekh Ibnu Abdissalam berfatwa bahwa menggunakan obat-obatan dan sejenisnya yang dapat memutus kehamilan secara permanen hukumnya haram, meski mendapat restu dari suami.
 

Fatwa beliau sebagaimana dikutip Imam Ibnu Ziyad:
 

أفتى ابن عبد السلام وأبو يُوْنُسَ بِأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تستعمل دَوَاءً يمنع الْحَبَلَ وَ لَوْ برضا الزَّوْجُ
 

Artinya, “Ibnu Abdussalam dan Ibnu Yunus berfatwa, sesungguhnya tidak halal bagi istri mempergunakan obat anti kehamilan walaupun suami menyetujuinya.” (Fatawa Ibnu Ziyad, [Beirut, Darul Fikr: t.t.], halaman 249).
 

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Islam, tindakan tubektomi yang bersifat permanen termasuk dalam kategori haram. Hal ini karena tubektomi secara langsung meniadakan kemampuan untuk memiliki keturunan secara permanen, yang berarti bertentangan dengan tujuan dasar pernikahan dalam Islam, yaitu prokreasi atau memiliki keturunan.
 

Sementara itu, metode pencegahan kehamilan yang bersifat sementara, yang tidak merusak atau menghilangkan fungsi reproduksi, masih diperbolehkan, bahkan bisa dianjurkan dalam kondisi tertentu.
 

Karena itu, bagi muslim dan muslimah yang mempertimbangkan langkah kontrasepsi, penting untuk memilih metode yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat serta berkonsultasi dengan tenaga medis dan ahli fiqih agar keputusan yang diambil benar-benar tepat. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan