KB dan Childfree dalam Islam, Sejauh Mana Negara Boleh Intervensi?

Pembatasan keturunan (tahdidun nasl) itu soal yang kompleks. Dalam kondisi tertentu, negara berhak mengeluarkan kebijakan, mencegah atau menganjurkan

Pembatasan keturunan (tahdidun nasl) dikenal masyarakat Indonesia dengan program Keluarga Berencana (KB). Belakangan publik juga dikenalkan dengan istilah childfree atau keputusan seseorang atau pasangan suami-istri untuk tidak memiliki keturunan sama sekali. Keputusan untuk childfree bahkan tak jarang ditetapkan pasangan sejak sebelum nikah. Jika KB dimaksudkan untuk mengatur jarak usia dan jumlah anak, childfree ditujukan sedari awal untuk tidak mempunyai anak.


Dalam khazanah keislaman, cara yang biasa ditempuh untuk pembatasan keturunan itu adalah ‘azal (al-'azlu). Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh (1985: 107-108) mengatakan, ‘azal merupakan praktik di mana seorang suami menumpahkan spermanya di luar kemaluan pasangan setelah mencabut darinya.


Menurut etika interaksi yang baik pasangan suami dan istri, seorang suami tidak melakukan praktik ‘azal dari istrinya yang merdeka (dalam konteks masyarakat perbudakan) tanpa seizinnya. Ulama, kata Az-Zuhaili, bersepakat memakruhkan praktik ‘azal suami tanpa ridha istrinya karena hubungan seksual dengan menumpahkan sperma di dalam kemaluan istri (inzal) merupakan sebab kehadiran anak. Sementara istri memegang hak terhadap anak. Dengan praktik ‘azal, kehadiran anak akan luput. Oleh karenanya, praktik ‘azal makruh dilakukan tanpa seizin istri.


Namun demikian, Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengemukakan pandangan ulama kontemporer mazhab Hanafi yang membolehkan pembatasan keturunan atau perencanaan keluarga melalui praktik ‘azal tanpa seizin istri. Kebolehan ini berlaku dalam situasi-situasi khusus yang mencemaskan, seperti suasana perang, perjalanan jauh, atau istri yang hendak segera diceraikan.


Dari praktik ‘azal ini, pasangan suami dan istri boleh menggunakan obat pencegah kehamilan seperti pil KB atau lainnya untuk menunda kehamilan pada masa waktu tertentu tanpa menghilangkan fungsi kehamilan sama sekali dan tetap berketurunan secara layak. Syekh Az-Zarkasyi, kata Az-Zuhaili, mengatakan bahwa pasangan suami dan istri boleh menggunakan obat pencegah kehamilan sementara seperti praktik ‘azal, tetapi tidak boleh menggunakan obat yang menahan kehamilan permanen (permanen dalam arti prediksi kuat [ghalabatudh dhann] melebihi 50%, baik untuk tubektomi (sterilisasi kepada perempuan) maupun vasektomi (sterilisasi kepada laki-laki).

 

Syekh Yusuf Al-Qardhawi dari kalangan ulama kontemporer dalam karyanya Al-Halal wal Haram menyebutkan setidaknya tiga faktor yang membolehkan pengaturan atau perencanaan keluarga. Al-Qardhawi membahas perencanaan keluarga pada bab pembatasan keluarga (tahdidun nasl).


ومن أول هذه الضرورات الخشية على حياة الأم أو صحتها من الحمل أو الوضع إذا عرف بتجربة أو إخبار طبيب ثقة


Artinya, “Salah satu kondisi mendesak untuk pembatasan keturunan adalah kekhawatiran atas keselamatan jiwa ibu atau problem kesehatan saat kehamilan maupun persalinan yang diketahui melalui uji coba laboratorium atau diagnosa dokter yang terpercaya,” (Yusuf Al-Qardhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam, 2004: 176).


Penyebab lain pembatasan keturunan, kata Al-Qardhawi, adalah kekhawatiran terhadap kesulitan duniawi (finansial) yang mengakibatkan pada kesulitan dalam menjalankan ajaran agama sehingga banyak orang tua terpaksa menerima uang haram atau syubhat dan menempuh jalan yang terlarang demi menghidupi anak-anaknya yang banyak.


Penyebab lain pembatasan keturunan, kata Al-Qardhawi, adalah kekhawatiran terhadap kesehatan anak yang jumlahnya terlalu banyak dan kegamangan atas pendidikan mereka. Alasan yang diajukan oleh Al-Qardhawi ini cukup beralasan karena berkaitan dengan tanggung jawab orang tua dalam merawat tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, maupun kognitifnya melalui pendidikan.


Adapun Az-Zuhaili sendiri membaca secara teliti pandangan ulama klasik perihal perencanaan keluarga melalui praktik ‘azal. Az-Zuhaili menyebutkan bahwa Imam Al-Ghazali membahas kontroversi praktik ‘azal dalam Islam. Imam Al-Ghazali, kutip Az-Zuhaili, menyebutkan bahwa Islam secara fleksibel mengizinkan praktik ‘azal dengan sejumlah pertimbangan, salah satunya faktor banyak anak yang secara kuantitas merepotkan dan memiliki banyak konsekuensi.


وأجاز الغزالي العزل لأسباب منها كثرة الأولاد


Artinya, “Imam Al-Ghazali memperbolehkan ‘azal karena beberapa faktor, salah satunya banyak anak,” (Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh).


Benar Az-Zuhaili, Imam Al-Ghazali menyebut lima faktor yang membuat pasangan suami dan istri memilih praktik ‘azal, salah satunya kekhawatiran pada jumlah anak yang terlalu banyak. Jumlah anak yang terlalu banyak tentu saja pada gilirannya membebani kedua orang tuanya secara finansial. Beban finansial keluarga yang berat berisiko terhadap pencemaran jalan penghidupan dan sumber pendapatan keluarga yang tidak sesuai syariat. Setidaknya, beban berat keuangan keluarga akan menjadikan usaha dan ikhtiar penghidupan sebagai aktivitas yang sangat meletihkan.


الثالثة الخوف من كثرة الحرج بسبب كثرة الأولاد والاحتراز من الحاجة إلى التعب في الكسب ودخول مداخل السوء وهذا أيضا غير منهي عنه فإن قلة الحرج معين على الدين


Artinya, “Faktor ketiga, kekhawatiran terhadap kesulitan karena banyak anak dan antisipasi terhadap kebutuhan effort lebih dalam usaha penghidupan, serta antisipasi agar tidak terpaksa masuk ke jalan-jalan gelap kehidupan. ‘azal dengan alasan ini juga tidak dilarang secara syariat karena sedikit kesulitan membantu kita dalam menjaga agama,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut: Darul Fikr: 2009 M/1429-1430 H], juz II, halaman 59).


Abdurrahman Al-Jaziri dalam Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba’ah menyinggung praktik ‘azal dalam konteks aib dalam perkawinan. Praktik ‘azal seorang suami yang menderita penyakit kusta sebagaimana praktik ‘azal suami dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat dibenarkan karena dapat memudaratkan pasangan dan juga calon anak keturunannya.


“Bahkan kalau tingkat mudaratnya cukup tinggi, maka praktik ‘azal lebih layak lagi (untuk ditempuh),” kata Al-Jaziri.


Praktik ‘azal juga dibahas oleh Nahdlatul Ulama (NU). Praktik ‘azal merupakan salah satu dari 19 masalah yang dibahas oleh kiai syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta pada 21-25 Syawwal 1379 H/18-22 April 1960 M.

 

Kontrasepsi Permanen dan Tidak Permanen

Praktik ‘azal pada forum musyawarah syuriyah PBNU saat itu diangkat ketika membahas masalah family planning (perencanaan keluarga). Praktik ‘azal diangkat untuk menjawab masalah yang diajukan Cabang NU Situbondo-Banyuwangi perihal hukum pembatasan keturunan/perencanaan keluarga (family planning).


Forum syuriyah PBNU memiliki pandangan yang cukup maju ketika itu. Forum memberikan jawaban solutif atas situasi darurat yang membolehkan praktik ‘azal dengan cara yang dapat menghilangkan secara total fungsi reproduksi (sterilisasi permanen). Jawaban forum syuriyah PBNU saya kira memberikan jalan bagi sterilisasi permanen yang tidak dikutip oleh ulama terdahulu.


Forum syuriyah PBNU ketika itu menjawab, “Kalau dengan ‘azl (mengeluarkan air mani di luar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya mani ke rahim seperti kopacis/kondom, maka hukumnya makruh. Begitu juga makruh hukumnya kalau dengan meminum obat untuk menjarangkan kehamilan. Tetapi kalau dengan sesuatu yang memutuskan kehamilan sama sekali, maka hukumnya haram, kecuali kalau ada bahaya. Umpamanya saja karena terlalu banyak melahirkan anak yang menurut pendapat orang yang ahli tentang hal ini bisa menjadikan bahaya, maka hukumnya boleh dengan jalan apa saja yang ada,” (Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2015 M, [Surabaya, Khalista-Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU: 2019]: 302).


Selain mengutip sejumlah kitab babon fiqih, para kiai NU saat itu berpedoman pada kaidah fiqih terkait pilihan prioritas yang harus ditempuh ketika kita dihadapkan pada dua risiko atau situasi sulit dalam waktu bersamaan yang menuntut jawaban.

 

وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَاعِدَةِ الْفِقْهِيَّةِ. إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَارًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا مَفْسَدَةً

 

Artinya, “Dan ketika darurat, maka sesuai dengan kaidah fiqhiyah; ‘Jika ada dua bahaya saling mengancam maka diwaspadai yang lebih besar bahayanya dengan melaksanakan yang paling ringan bahayanya,’” (Ahkamul Fuqaha, 2019: 302-303).


Dari berbagai keterangan di atas, kita dapat melihat bagaimana pandangan para ulama mulai dari zaman klasik sampai zaman kontemporer melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, yaitu merespons realitas persoalan di zaman dan daerahnya masing-masing dengan segala dinamikanya yang khas. 


Kita dapat merumuskan bahwa masalah keturunan atau anak ini memang masalah yang cukup kompleks baik menyangkut dimensi privat-individual maupun dimensi publik. Kita menemukan bahwa para ulama itu menyarankan pasangan suami istri untuk melakukan praktik ‘azal atau praktik lain yang dapat mencegah kehamilan dengan spekulasi pertimbangan kesehatan ibu, risiko penyakit berbahaya yang berpotensi menurun pada anak, faktor beban keuangan keluarga, dan aspek kualitas pendidikan anak kelak. Bahkan ada pertimbangan yang sangat personal dan teknis sekali, yaitu pertimbangan yang diajukan Az-Zuhaili: yaitu praktik ‘azal suami yang hendak segera menceraikan istrinya yang berperangai buruk.


Secara umum, kita dapat melihat bahwa ulama membagi dua jenis praktik yang bermuara pada pembatasan keturunan (tahdidun nasl) atau perencanaan keluarga (family planning). Semua ulama bersepakat bahwa pembatasan keturunan hanya boleh ditempuh dengan cara yang hanya dapat mencegah kehamilan yang bersifat sementara apapun teknisnya (praktik ‘azal, KB kalender, kondom, pil pencegah kehamilan, sterilisasi melalui vasektomi dan tubektomi). Sejauh sifatnya sementara, ulama selain NU menghukumi kebolehan pembatasan keturunan atau perencanaan keluarga. Adapun ulama NU melalui forum syuriyah PBNU tahun 1960 mengambil langkah lebih progresif. Dengan mempertimbangkan situasi darurat dalam arti luas, ulama NU menyarankan pembatasan keturunan atau perencanaan keluarga yang dapat memutus potensi kehamilan atau fungsi reproduksi secara permanen.


Adapun childfree sendiri sebagaimana KB juga bisa jadi berbeda dengan praktik ‘azal yang dibicarakan oleh para ulama, tetapi tentu saja beririsan karena ‘azal hanya bersifat teknis. Pasalnya, praktik childfree atau program KB dapat dapat ditempuh tanpa memutus total fungsi reproduksi atau pencegahan kehamilan secara permanen.


Adapun semangat putusan para ulama perihal praktik ‘azal yang bertujuan untuk memutus sementara fungsi reproduksi atau pencegahan kehamilan secara temporer berkaitan dengan salah satu maqashidus syariah, yaitu hifdhun nasl atau menjamin keberlanjutan spesies manusia di muka bumi. Oleh karena itu, praktik ‘azal dan teknik pencegahan kehamilan lainnya oleh sebagian ulama dianggap makruh karena tidak sejalan dengan prinsip hifdhun nasl. Sementara childfree dengan apa pun caranya bukan hanya tidak sejalan tetapi juga bertentangan dengan prinsip tersebut.  


Adapun childfree atau pemutusan fungsi reproduksi secara permanen dapat menjadi pilihan ketika terdapat uzur atau situasi darurat sebagaimana putusan forum syuriyah PBNU tahun 1960 seperti sejumlah pertimbangan yang diajukan para ulama dengan beragam tantangan dan inventaris masalah yang mereka temukan di zaman dan daerahnya masing-masing.


Pasangan suami dan istri yang memiliki beberapa anak dan berfokus pada pengasuhan serta pendidikan mereka dapat mengikuti pandangan forum syuriyah PBNU tahun 1960. Pasangan suami istri yang juga sudah berumur dan memutuskan untuk tidak memiliki anak atau tidak menambah anak dapat menjadikan sterilisasi permanen melalui vasektomi atau ubektomi sebagai solusi atas pembatasan jumlah anak mereka atau atas usia pasangan suami istri yang beranjak menua.


Childfree, Realitas Sosial-Politik, dan Intervensi Negara

Pada subbab ini kita tidak mendiskusikan terkait hukum childfree atau pembatasan keturunan melalui rekayasa medis dalam memutus fungsi reproduksi secara permanen dari aspek fiqih. Kita akan menjelajahi nalar fiqih para ulama dalam menghadapi overpopulasi atau ledakan penduduk sebagai realitas sosial di sebuah bangsa dan dunia di zaman tertentu.


Kita akan memulai dari pandangan Rais Aam PBNU 1999-2013 KH M Sahal Mahfudh terkait ledakan jumlah penduduk yang tidak terkendali. Dalam konteks Indonesia, pemerintah berupaya mengendalikan masalah ledakan penduduk melalui pembatasan keturunan melalui program Keluarga Berencana (KB) dan kaitannya dengan kesejahteraan keluarga serta tantangan pada aspek kehidupan lainnya yang menyertai problem overpopulasi.


Dalam skala kecil semangat KB adalah pembatasan keturunan untuk mencegah kehamilan yang memiliki konsekuensi terhadap kesejahteraan keluarga. Tetapi dalam skala besar atau global pembatasan tersebut juga punya implikasi yang lebih luas sebab ladakan penduduk berkaitan pula dengan masalah sosial, lingkungan, mental, kesehatan, dan juga kesejahteraan keluarga.


Rais Aam PBNU 1991-1992 dan Ketua Umum MUI 1990-2000 KH M Ali Yafie menyebut kerusakan alam baik di daratan maupun di lautan itu terjadi akibat dosa yang dilakukan oleh tangan manusia berupa ekspansi pasar global-transnasional, obsesi pertumbuhan ekonomi nasional, ekonomi kapitalisme, dan peningkatan (ledakan jumah) penduduk di dunia ketiga. (KH M Ali Yafie, Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, [Jakarta, Yayasan Amanah-Ufuk Press: 2006 M], h. 62-64).


Dengan demikian, ledakan penduduk bukan semata masalah personal atau pasangan suami-istri, melainkan juga masalah sosial, ekonomi, dan politik yang melibatkan banyak individu. Pada titik ini pemerintah berhak mengatur, antara lain melalui program KB, pensyaratan umur minimal pernikahan, bimbingan perkawinan, dan seterusnya. 


Menurut Kiai Sahal (2011: 6) Hampir semua aspek dan faktor kehidupan berkaitan erat dan saling mempengaruhi dengan masalah ini. Masalah kependudukan, seperti tingginya laju perkembangan penduduk, persebarannya tidak merata, dan struktur umur penduduk yang relatif muda, semua berkaitan erat dengan aspek kependudukan yang cenderung menimbulkan kerawanan sosial, serta ketimpangan sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, keamanan, dan keagamaan. Bahkan dari masalah kependudukan ini kita bisa menelusuri munculnya kemiskinan struktural, krisis lingkungan, dan lain-lain. Kuantitas penduduk yang tidak terkendalikan tidak diimbangi dengan peningkatan sumber daya alam, kemampuan, dan keterampilan ikhtiar yang memadai, akan mengakibatkan mafsadah umum dari dimensi duniawi maupun ukhrawi.


Sejumlah orang di dunia ini memiliki alasan berbeda ketika memutuskan untuk childfree. Sebagian karena faktor penyakit berbahaya, kesiapan mental, beban ekonomi keluarga karena standar hidup layak yang tinggi; sebagian karena alasan lingkungan dan ledakan populasi tak terkendali yang berdampak pada masalah sosial. Dari sini kemudian ulama membagi uzur childfree secara umum terbagi dua, yaitu udzur khas yang bersifat individual-personal dan udzur amm yang bersifat umum-publik.


Lalu bagaimana dengan pandangan keagamaan tentang KB dan pilihan childfree yang diambil oleh sebagian orang di dunia ini? Karena yang dihadapi adalah realitas yang semakin kompleks, ulama tidak bisa sekadar menyimpulkan dari teks-teks keislaman. Ulama dalam hal ini memerlukan keterlibatan pakar dan ahli di bidang tarkait.


Sistematika dan seperangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya memungkinkan dikembangkannya secara kontekstual sehingga tidak akan tertinggal oleh perkembangan sosial yang ada. Nabi pernah menganjurkan agar kaum muslimin memperbanyak keturunannya. Dalam era overpopulasi sekarang ini, anjuran Nabi itu tidak dapat dipahami secara dangkal, yakni bahwa nabi memerintahkan untuk memperbanyak anak secara kuantitatif. Akan tetapi sebaliknya, anjuran itu bermakna pada usaha untuk meningkatkan kualitas hidup keturunan kaum muslimin (Kiai Sahal, 2011: 23).


Dengan begini, Kiai Sahal memandang perlunya pendekatan fiqih secara kontekstual Ditambah lagi bahwa salah satu kaidah fiqih berbunyi, “Kebijaksanaan penguasa atas rakyatnya bertumpu sepenuhnya pada kesejahteraan rakyat itu sendiri.” Dari kaidah ini tentu dapat dikembangkan banyak teori sosial yang kompleks dan universal.


Menurutnya, dalam pembentukannya fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan karena itu  bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbabun nuzul bagi Al-Qur’an dan asbabul wurud bagi sunnah.


KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga memberikan catatan perihal keterlibatan para ulama Indonesia (kiai NU) merespons masalah ledakan penduduk dan konsekuensinya di berbagai aspek kehidupan. Gus Dur sebagaimana Kiai Sahal mencatat dinamika hukum Islam dan realitas sosial yang semakin kompleks.


Sebuah hadits Nabi memerintahkan umat Beliau agar memperbanyak pernikahan dan kelahiran  karena di hari kiamat belau akan membanggakan mereka di hadapan umat nabi-nabi yang lain. Pada mulanya kata “banyak” dipahami sebagai jumlah karena saat itu memang zaman penuh kesulitan memelihara anak. Dengan tingginya angka kematian anak, maka ada kekhawatiran bahwa jumlah umat Islam akan dikalahkan oleh jumlah umat yang lain. Akan tetapi alasan demikian untuk saat ini tidak bisa dipertahankan lagi ketika penonjolan kuantitas sudah tidak dibutuhkan. Jumlah anak yang terlalu banyak justru akan menimbulkan bahaya ketika kemampuan masyarakat untuk menampung mereka tidak memadai. Maka terjadilah perubahan, ukuran-ukuran itu dititikberatkan pada kualitas. Perubahan pemahaman seperti ini membawa kepada rumusan pemahaman nash yang baru, “Kawinlah akan tetapi jangan terlalu banyak anak dan aturlah jumlah keluarga Anda,” (Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, [Depok, Desantara: 2001], h. 125-126).


Dengan kata lain, ledakan penduduk menimbulkan hajah (yang setara dengan keadaan darurat). Kalau demikian timbullah pertanyaan tentang wewenang merumuskan hajah tersebut ketika menyangkut soal-soal makro. Ternyata musyawarah terbatas tersebut memutuskan bahwa kebolehan sterilisasi yang bisa dipulihkan kembali diputuskan oleh tim yang terdiri dari para ahli dari berbagai bidang: ahli demografi, ekonomi, fiqih, psikologi, dan dokter medis. Rumusan ini jelas merupakan perubahan besar dalam konsep dasar-dasar fiqih. (Abdurrahman Wahid, 2001 M: 126-127).


Hal-hal seperti ini harus disadari sebagai proses budaya menuju pengembangan implikasi atau konotasi hukum dari nash untuk membentuk hukum baru. Ini suatu kebutuhan untuk menghadapi kemungkinan munculnya pertimbangan-pertimbangan terbaru yang tampak menggugat pemahaman lama. (Abdurrahman Wahid, 2001 M: 127).


Pakar hukum Islam baik Indonesia maupun di Timur Tengah mendiskusikan kemungkinan perubahan hukum Islam ketika dihadapkan pada realitas-realitas baru dan perkembangan zaman yang semakin kompleks. Mereka memandang perlunya kajian ulang dengan memverifikasi (tahqiqul manath) antara teks-teks hukum Islam yang dianggap cukup untuk menjawab problem manusia di zamannya dan masalah manusia hari ini karena perubahan situasi.


Perkawinan dalam konteks mencegah ledakan penduduk yang lebih parah, pemerintah diperkenankan melakukan intervensi. Dari sini pemerintah mendapatkan mandat tanggung jawab untuk mengatur perkawinan untuk mengantisipasi mudarat lebih besar di kemudian hari. Demikian pula bila ada kondisi sebaliknya, yakni ketika sebuah negara mengalami krisis anak atau generasi. Pemerintah berhak mengeluarkan kebijakan yang mencegah adanya pembatasan keturunan yang ketat demi keberlangsungan dan kemaslahatan bersama.

 

واعلم أن التوسعة على الحكام في الأحكام السياسة  ليس مخالفا للشرع بل تشهد له القوائد الشرعية من وجوه: أحدها أن الفساد قد كثر وانتشر بخلاف العصر ومقتضى ذلك اختلاف الأحكام بحيث لا تخرج عن الشرع بالكلية لقوله صلى الله عليه وسلم لا ضرر ولاضرار وترك هده القوانين يؤدي إلى الضرر ويؤكد ذلك جميع النصوص الواردة بنفي الحرج


Artinya, “Ketahuilah, kelonggaran bagi pemerintah dalam membuat regulasi tidak bertentangan dengan syariat. Bahkan kaidah syariat memberikan petunjuk dari beberapa aspek: pertama, mafsadat telah banyak terjadi dan menyebar karena perbedaan zaman. Dari sana kemudian ada tuntutan untuk perubahan hukum yang sekiranya tidak keluar dari syariat secara prinsip universal sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw, ‘Tidak mudarat dan tidak memudaratkan.’ Meninggalkan kaidah ini dapat mengakibatkan mudarat. Hal ini diperkuat oleh seluruh nash syariat yang menganjurkan penghilangan kesulitan,” (Syekh Abdul Wahhab Khallaf, As-Siyasatus Syar’iyyah aw Nizhamud Daulatil Islamiyyah, 2016: 15).


Dari irisan dan jangkauan persoalan ledakan penduduk di berbagai dimensi kehidupan, perkawinan dan pengalaman berketurunan yang mulanya adalah akad sederhana yang melibatkan dua individu dan keluarga di zaman dahulu menjelma menjadi lembaga yang cukup kompleks dan menjadi masalah publik yang perlu sentuhan kebijakan pemerintah untuk menahan laju mudarat ledakan penduduk. Dari sini kemudian pemerintah mendapatkan mandat tanggung jawab untuk mengatur perkawinan untuk mengantisipasi mudarat lebih besar di kemudian hari.


Pada dasarnya, perkawinan sendiri jauh lebih kompleks dari akad jual dan beli. Tidak heran kalau akad perkawinan memerlukan ketentuan yang lebih kompleks dibandingkan akad jual-beli misalnya. Imam Al-Qarafi dalam Al-Ihkam fi Tamyizil Fatawa anil Ahkam wa Tasharrufatil Qadhi wal Imam (2009: 56-57) berpendapat, semakin penting sebuah persoalan maka semakin banyak syarat yang diterapkan. Itulah kenapa perkawinan mensyaratkan sesuatu yang tidak ada disyaratkan dalam perdagangan, seperti syarat saksi, mahar, wali, dan lain-lain.


Pemerintah kemudian mengatur usia calon mempelai yang tadinya tidak ada ketentuannya. “Usia calon mempelai dalam perkawinan merupakan masalah krusial yang berkaitan dengan kemaslahatan dan kualitas keluarga. Atas dasar asas ini, ada regulasi yang mencegah keberlangsungan perkawinan ketika usia mempelai belum memenuhi angka umur yang ditetapkan; 16 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki saat akad.” (Khallaf, 2016: 14-15).


Gus Dur juga menulis seputar kebijakan negara atas usia calon mempelai. Menurutnya, kebutuhan situasi sosial saat ini tidak lagi dapat dipenuhi oleh teks fiqih klasik yang ditulis di zamannya. “Situasi telah berubah. Pada saat ini pemuda yang berusia 15 tahun tentu belum mampu memenuhi kebutuhan bagi sebuah perkawinan dan konsekuensi hukumnya. Situasi lapangan pekerjaan tidak sesederhana dulu, karena saat ini untuk memasuki pasaran kerja memerlukan persyaratan yang kompleks. Dengan demikian tuntutan kualitas sebagai hasil dari perubahan-perubahan pemahaman nash menghendaki pula perubahan batas terendah usia perkawinan. Maka undang-undang perkawinan pun menetapkan umur 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk wanita, sambil tidak menutup kemungkinan bahwa batas usia terendah ini bisa dinaikkan menurut keperluan. Batas ini ternyata tidak ditentang ulama. (Abdurrahman Wahid, 2001 M: 126).


Situasi riil yang terus berubah dan berkembang seharusnya dipertimbangkan sebagai sebuah variable dalam menentukan rumusan jawaban dan solusi yang ditawarkan kepada publik. Jadi realitas dan situasi riil menjadi landasan yang realistis terhadap solusi atas masalah keumatan, salah satunya ledakan penduduk.


Dinamika sosial politik, tantangan demografi, ancaman kerusakan lingkungan, mengharuskan pakar hukum Islam hari ini untuk menghitung dampak hukum (ma’al) sebagai pertimbangan fatwa. Oleh karena itu, pakar hukum Islam hari ini perlu melibatkan berbagai pakar terkait untuk mendengarkan ahli di berbagai bidang tersebut sebagai bahan pertimbangan hukum.


فما أحوج المجتهدين المعاصرين إلى تصوير الوقائع الطبية والبيولوجية والبيئية والاقتصادية والمعلوماتية والنفسية والاجتماعية وغيرها، وما أحوجهم إلى الاستعانة بأصحاب الشأن في هذه الوقائع من الاطباء وعلماء الوراثة والاقتصاد والإعلام والنفس والمجتمع، وما أحوجهم إلى التنسيق والتشاور والتعاون  من أجل تقديم الحلول الفقهية المناسبة لوقائعها، والمستجيبة لهدي نصوصها، والملائمة لمصالح الناس وقضايا المجتمع والمنظمات والدول


Artinya, “Ulama mujtahid kontemporer sangat membutuhkan deskripsi realitas medis, biologis, ekologis, ekonomi, data, psikologis, sosiologis, dan disiplin lain. Mereka sangat membutuhkan bantuan pakar terhadap realitas baik dari kalangan dokter, ulama waris, ahli ekonomi, pakar komunikasi, ahli psikologi, dan pakar sosiologi. Mereka sangat membutuhkan keharmonisan, diskusi, dan saling membantu untuk memprioritaskan sasaran fiqhiyah yang sesuai dengan realitas; mengikuti petunjuk nash; dan yang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia, isu publik, aturan, dan negara,” (Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Fiqhunal Muashir, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman 85).


Dari sini kita dapat terjebak pada sekadar dukung atau menolak program KB, sterilisasi temporer maupun permanen, atau pilihan childfree karena fiqih memiliki nalar hukum yang fleksibel dan dinamis seiring realitas yang terus berubah dan tantangan zaman dari berbagai dimensinya. Bahkan pada level tertentu yang mengkhawatirkan hukum fiqih ini tidak cukup menjadi norma sosial, tetapi menjadi hukum positif di mana negara melakukan intervensi di dalamnya.


Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU


logo